Rabu, 20 Januari 2016

Jayapura, Jubi - Di halaman Gubernur Lukas Enembe kompleks perumahan yang terletak di Angkasa, lingkungan elit di Jayapura, Papua, dua pohon Natal dari ketinggian 3 meter berdiri di dekorasi menyenangkan. Balkon memberikan pemandangan laut dan bukit-bukit tertutup kabut dengan hujan lebat pada 15 Desember 2015.Setelah menunggu sekitar lima jam, Tempo diizinkan untuk masuk. Mengenakan didominasi orange dan krem ​​batik motif Papua, Enembe mengaku ia tidak cocok setelah mengunjungi terowongan tambang Freeport di Timika pada tanggal 1 Desember."Saya tidak menggunakan masker oksigen pada waktu itu, jadi saya harus sesak napas. Dokter menyarankan saya untuk menjalani infus, itu akan mengambil sebentar, "kata Enembe Maria Rita Hasugian, wartawan Tempo, dalam sebuah wawancara di ruang tamu kediaman resminya.Selama sekitar dua jam, Enembe menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Tempo pada penguatan peran Papua generasi muda menyuarakan kemerdekaan Papua, kondisi mengerikan di beberapa kabupaten, otonomi khusus, dan kepemilikan saham Freeport. Gubernur berbicara pelan dan tertawa keras beberapa kali. Mantan Bupati-wilayah Puncak Jaya dikenal sebagai wilayah yang Tentara Pembebasan-Papua Gerakan Nasional dipimpin oleh Goliat Tabuni-katanya masih orang yang sama ketika ia Puncak Jaya Bupati yang berbicara keras, tumpul, tidak terkontaminasi dengan kepentingan lain. Berikut adalah wawancara.Bagaimana situasi politik di Papua dengan panggilan semakin keras di kalangan pemuda untuk kemerdekaan Papua?Dari awal, Papua secara politik berbeda dengan orang-orang di daerah lain. Kontrak Freeport kerja di Papua sudah ada pada tahun 1967. Papua belum terintegrasi dengan Indonesia. Integrasi itu pada tahun 1969. Papua, khususnya yang berada di daerah pesisir, dijanjikan untuk membangun negara mereka sendiri. Itu benar-benar memicu Papua untuk terus berjuang hingga saat ini. Ini menciptakan hambatan politik yang luar biasa dan tidak pernah bisa membentuk jiwa orang Papua 'bahwa kita adalah orang Indonesia. Sampai saat ini itu tidak pernah terwujud. Jakarta pikir Papua bodoh, diskriminasi mereka saat mereka benar-benar manusia. Mereka (Papua) benar-benar mengerti, mereka memahami sejarah dan sebagainya. Mereka sangat cerdas.Jadi, apa yang harus dilakukan Jakarta?Jakarta diberlakukan cara sendiri. Itu tidak benar. Masalah bisa diselesaikan jika orang Papua memiliki penentuan nasib sendiri apa yang terbaik bagi mereka. Tetapi jika itu diberlakukan, hal itu tidak bisa terjadi, itu terus terjadi dari generasi ke generasi. Kami melihat sejarah Papua yang dari awal hambatan politik sudah ada. Jadi Papua perlu regulasi yang tepat untuk mengorganisir diri untuk merasa menjadi bagian dari Indonesia. Ini harus dilakukan secara mandiri, bukan dengan Jakarta, karena kita adalah manusia. Seperti UU No. 21 (UU Otsus) tidak diterapkan dengan baik. Oleh karena itu orang Papua semakin tidak percaya. Kami meminta Jakarta untuk percaya pada orang Papua. Jika tidak, perspektif mereka tentang Jakarta dan Indonesia-nasionalisme akan memudar.Apakah ada perubahan dalam kebijakan Jakarta terhadap Papua sekarang?Di era Presiden Soeharto, Jakarta sangat arogan. Pada era Orde Baru, ada Operasi Militer Teritorial, dan sebagainya. Sekarang, Indonesia berubah dari waktu ke waktu. Ini bukan masa lalu. Ini tidak bisa dilakukan melalui kekerasan. Akses informasi sekarang dibuka. Hari ini jika kita melakukan sesuatu di Tolikara, dunia akan diinformasikan segera. Jadi, ada akar masalah yang belum diselesaikan belum. Hal itu membuat generasi baru, generasi yang lahir di 70-es adalah mereka yang merasa penindasan, mengalami operasi militer. Mereka yang lahir di bawah sistem Orde Baru, yang sentralistik dan represif, seperti Benny Wenda yang ibunya tewas.Banyak pendekatan yang diambil oleh pemerintah untuk mendapatkan kepercayaan orang Papua, tapi sejauh ini tidak berhasil. Apakah Anda punya saran konkret?Saya memiliki pendapat seperti ini: ada banyak kelompok di Papua yang ada hanya untuk kepentingan pribadi jangka pendek mereka, tapi mengklaim mereka yang besar, memiliki akses, tetapi ada juga orang-orang yang membela untuk kepentingan Papua. Jadi, untuk membangun kepercayaan untuk Indonesia, perlu peraturan untuk merevisi UU Otsus melalui peraturan baru. Kami memperbaiki beberapa kekurangan melalui peraturan baru. Apa yang terjadi selama ini adalah itu hampir tidak dilaksanakan.Setelah ada evaluasi?Evaluasi belum pernah dilakukan. Anda menawarkan Otonomi Khusus Ditambah? Kami menegakkan itu menjadi Prolegnas (Program Legislatif Nasional) 2016. Mudah-mudahan pemerintah akan menyetujuinya, berbicara tentang masalah ini. Hak afirmatif dari Papua termasuk dalam hukum ini, terutama pembangunan Papua. Saat ini, dalam kondisi kaya di Papua, Papua miskin. Jakarta tidak membuat Papua sebagai obyek eksploitasi sumber daya alam. Tapi itu diterapkan untuk kemajuan dan kemakmuran rakyat terbesar itu. Ini harus berjuang. Kami telah memahami bahwa orang-orang datang ke Papua untuk kamuflase. Freeport adalah bukti. Semua orang benar-benar ingin mendekati Freeport. Jadi jika ada orang yang datang untuk kepentingan bisnis, kepentingan pribadi, mengambil sumber daya alam, rakyat Papua hanya akan wacth, mereka hanya bisa berdoa: Tuhan, jalanmu sendiri pekerjaan telah ditentukan mereka. Papua benar-benar tahu bagaimana serakah adalah orang-orang berjuang untuk tanah Papua.Ada organisasi Papua sistematis untuk kemerdekaan Papua seperti KNPB dan ULMWP. Apa yang Anda katakan tentang fenomena ini?Saudara-saudara kita berpikir Jakarta tidak bisa lagi dihitung. Itu saya pikir. Oleh karena itu mereka menyatakan suara mereka ke tingkat internasional. Semoga Jakarta bisa memahaminya sebagai sesuatu yang harus diselesaikan di Papua. Harus ada sesuatu yang besar harus dilakukan di Papua untuk membuat Papua mematuhi ke negara dan memiliki perasaan Indonesia, memiliki karakter sebagai Indonesia, memiliki kapasitas yang sama seperti orang lain, tidak merasa miskin, tidak merasa bodoh.Dimana pemerintah harus mengungkap ini?Hal ini mahal untuk rekonsiliasi karena beberapa agenda politik perlu benar-benar diselesaikan dari Jakarta. Misalnya, jika Anda ingin menyelesaikan masalah di Papua, mengundang mereka dan mendiskusikan dengan mereka. Apakah maksud Anda dialog? Ini adalah dialog dalam arti membangun kebersamaan Indonesia, untuk membangun Papua. Ini harus melibatkan semua komponen, termasuk kelompok-kelompok yang berlawanan. Ini tidak berarti kita ingin perpisahan. Tapi orang Papua menganggap dialog ini sebagai upaya untuk memisahkan diri dari Indonesia, itu salah.Menurut Anda, kelompok berlawanan ingin dialog?Saya pikir mereka akan. Misalnya Jaringan Damai Papua sudah bekerja, jika mungkin melibatkan semua komponen termasuk mereka yang menentang kita. Kekhawatiran dialog ini yang belum dilaksanakan sampai sekarang apa? Ini mungkin akan membawa kita ke pilihan referendum atau independen. Karena dialog dalam arti Papua berarti kemerdekaan.Keberadaan TPN-OPM (Tentara Pembebasan Papua-Papua Barat Gerakan) cukup tegang akhir-akhir ini?Semua orang terbunuh sering cukup untuk menuduh mereka (sebagai pelaku). Ini stigma buruk bagi orang Papua. Tidak semua orang di Papua adalah TPN-OPM, tapi setiap kali pembunuhan itu terjadi, TPN-OPM dituduh. Hal ini tidak dapat dihasilkan. Ini adalah bagian dari aparatur Negara yang mempengaruhi situasi nasional. Saya diminta untuk rekan-rekan saya untuk berhati-hati dalam menempatkan diri mereka sebagai pasukan keamanan di Papua. Berhenti membuat kesulitan, Jakarta akan merasa terganggu.Apakah Anda berpikir bahwa Anda tidak sedang dihormati sebagai pemimpin di Papua?Kasus Tolikara itu satu set up. Ini mungkin memiliki tujuan tertentu. Jangan berpikir Papua bodoh, tidak ada. Mereka tahu.Sampai saat tes balistik menembak terjadi di Tolikara pernah diungkapkan kepada publik. Mengapa?Semua insiden terjadi di Papua tidak pernah terungkap. Tes balistik adalah omong kosong.Lalu bagaimana untuk mengungkap kebenaran?Kebenaran, keadilan untuk menemukan kasus terjadi di Papua tidak pernah terjadi. Orang-orang hanya terbunuh seperti itu. Dikatakan pelaku diburu, tapi di mana? Setiap insiden penembakan tidak pernah benar-benar diselesaikan. Tidak benar-benar, sepenuhnya dilakukan.Menurut Anda, apa yang sebenarnya di balik insiden tersebut?Rencana besar adalah Jakarta untuk mengambil kendali atas Papua untuk mengambil sumber daya alam potensial kami. Bayangkan bahwa dari tahun 1969 sampai sekarang, semua potensi yang telah diambil; pembalakan liar masih terjadi serta illegal fishing. Dan penambangan liar juga terjadi karena orang tertentu saja mengelolanya, atau hanya mengambil dan di sini dianggap sebagai tanah tak bertuan.Seberapa besar toleransi Papua terhadap situasi saat ini?Jakarta tidak boleh lupa bahwa masyarakat adat hidup di Papua. Jika itu hancur, masih dapat menghidupkan kembali, sejarah mereka ada dari waktu ke waktu. Papua dipecat, jumlah imigran meningkat, itu tidak menjadi masalah karena alam Papua masih hidup. Jakarta tidak harus menggunakan metode ini untuk menghancurkan Papua. Dampak dari masalah ini bisa menjadi bom waktu di masa depan.Anda bertemu Menteri Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia Bidang terkait dengan saham Freeport di awal Desember lalu. Apa yang Anda katakan padanya?Reaksi Papua jelas, itu adalah saat yang tepat untuk perpanjangan kerja kontrak 2021. Kami telah menyatakan aspirasi pemerintah provinsi. Kami memiliki 17 item yang diusulkan yang telah dibahas pada periode akhir dari Presiden Yudhoyono. Dan kami mengatakan hal yang sama untuk Jokowi. Poin penting dari 17 poin merupakan pemegang saham. Pemerintah harus memiliki regulasi yang tepat untuk mendapatkan saham. Keikutsertaan pemerintah Papua sebagai pemegang saham harus ditentukan saat ini. Kita mungkin menemukan pola yang tepat, mungkin seperti Mahakam Blok. Kedua Pemerintah Papua dan penduduk asli Papua harus mendapatkan dividen tetap setiap tahun. Kami masih membahas masalah ini.Papua terkesan tidak aman, yang wartawan asing tidak bisa masuk Papua sampai sekarang.Siapa yang melarang? Papua aman memang. Apakah Anda keluhan ke Departemen Luar Negeri karena wartawan asing tidak diizinkan untuk Papua? Di sini kita menyatakan kepada setiap wartawan, Anda diperbolehkan untuk datang. Akses telah dibuka. Tidak ada yang disembunyikan sekarang. Wartawan asing bisa datang ke daerah lain, mengapa mereka harus tidak berada di sini?Ada informasi bahwa status DOM belum resmi dicabut?Saya tidak tahu apakah sudah dicabut atau tidak. Ini terlihat masih berlaku. Kapan itu mencabut, kita tidak tahu.Anda membuat kebijakan mengenai alokasi dana otonomi yang 80 persen untuk pemerintah daerah dan 20 persen untuk pemerintah provinsi. Tapi di Wamena, kondisi rumah sakit yang miskin, di Tolikara itu dilaporkan adanya guru yang tinggi 'bahwa mereka hanya datang hanya depan untuk ujian. Apakah Anda tahu tentang ini?Nah, kebijakan ini 80:20 hanya berjalan selama satu tahun. Sekitar Rp 4 triliun dialokasikan untuk kabupaten. Ini hanya tahap pertama. Ada evaluasi menyeluruh pada tahap ini. Memang, itu tergantung masing-masing bupati. Jika mereka benar-benar ingin menerapkan visi-misi mereka, mereka harus mengalokasikan anggaran sesuai dengan Peraturan Daerah Khusus, yaitu 20-30 persen untuk pendidikan, 30 persen untuk kesehatan, dan 20 persen untuk pembangunan ekonomi. Ketat peraturan karena itu mereka dapat fokus ke tujuan mereka, manajemen dan target. Saya percaya kita bisa secara bertahap memperbaikinya. Jika bupati tidak fokus, tidak memiliki perspektif masa depan menuju target dicapai mereka, daerah yang akan mati dan orang-orang akan menderita.Apakah Anda menemukan kejanggalan dalam penggunaan anggaran otonomi khusus?Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) membuat laporan; masih implementasi satu tahun. Jadi kita belum dievaluasi. Kami akan membentuk tim yang lebih besar untuk mengevaluasi pelaksanaan anggaran 80 persen di tahun kedua. Tim akan terdiri dari banyak pihak.Ada informasi tentang penyalahgunaan beras untuk program miskin. Apakah Anda memiliki laporan apapun tentang pencatutan?Kami tahu. Hal itu terjadi dari sini atau dari gudang logistik di Wamena. Bagaimana mekanisme distribusi beras?Ini harus dilakukan dari sini (Jayapura) untuk Logistik Kantor di Wamena. Jadi itu yang terjadi di Wamena atau dari sini, kita hati-hati akan melihatnya. Jika itu terjadi di Wamena, kelemahan berada di kantor logistik regional atau pejabatnya. Telah itu telah diselidiki?Tidak, tidak ada penyelidikan sejauh ini. Kita harus membentuk sebuah tim. Ini adalah pelanggaran luar biasa. Harus ada penyelidikan di Wamena, apakah Pemerintah Jayawijaya tahu tentang hal itu atau tidak, atau dimainkan oleh pejabat logistik.Anda telah menerima laporan?Tidak, aku hanya mendengar. Ini berarti kelemahan dalam Wamena. Kita harus mencari tahu apakah Pemerintah Jayawijaya terlibat, bahwa mereka adalah aktor. Banyak memiliki keluhan tentang hal itu, tapi itu masih berlangsung.Cara mengatasi mahalnya biaya bahan pokok di dataran tinggi tengah?Nah, itu normal. Selama industri belum dibangun di Papua, itu akan menjadi mahal. Apa jenis kegiatan ekonomi untuk mengatasi tingginya biaya kebutuhan pokok bagi masyarakat? Ini harus menjadi sebuah industri di Papua. Kita berbicara tentang pembangunan smelter, itu akan berdampak pada pembangunan industri lainnya. Oleh karena itu bisa mengurangi harga. Selama tidak ada industri, harga barang-barang yang masih mahal. Tidak ada yang murah di dataran tinggi.Intervensi untuk menurunkan harga?Kita berbicara tentang membangun sebuah industri. Karena moda transportasi ada pesawat, sehingga intervensi kami adalah membuka akses jalan. Mudah-mudahan tahun 2018 kita bisa membuka seluruh akses jalan. Hanya tersisa fase pengaspalan. Jika akses jalan dibuka, itu akan membuka kegiatan ekonomi mengelilingi dataran tinggi pusat.Apa yang Anda katakan tentang situasi di Papua?Kami ingin orang Papua untuk mempertimbangkan mereka sebagai Indonesia; itu harus mulai dari Papua, kemudian diikuti oleh tindakan pemerintah tentang bagaimana mempersiapkan waktu dan kesempatan bagi orang Papua. Jangan gunakan cara Jakarta di sini. Apa cara Jakarta? Hal ini seperti menegakkan kehendak tanpa mendengarkan orang Papua. Tidak ada kebijakan dari Jakarta tanpa melibatkan semua lembaga yang didirikan oleh Negara di Papua. Untuk saudara-saudara kita di kelompok yang berlawanan, kita harus meyakinkan mereka dengan cara lembut yang bisa menjadi kepercayaan oleh rakyat Papua, melalui pendekatan tawar.Ketika hati mereka dipotong, menurut Anda berapa banyak persentase Papua saat ini untuk mendukung Republik Indonesia?Jika hati mereka dipotong, mereka akan mengatakan: Saya ingin kebebasan (tertawa). Mereka harus berbicara seperti itu.Tentu saja tidak mudah untuk membangun sebuah negara ...Oleh karena itu kami berharap Pemerintah Jakarta untuk memberikan penegasan dengan perhatian penuh terhadap rakyat Papua. Dari aspek regulasi, tidak membuat hukum untuk menyakiti orang Papua. Pada tahun 2020, Papua akan menjadi tuan rumah acara Olahraga Nasional. Kami mendorong masyarakat untuk lebih berpikir tentang olahraga bukan politik. Kita harus mendorong orang-orang muda untuk menjadi bergairah untuk bersaing di acara olahraga. Oleh karena itu daerah ini tidak hanya terus menerus berbicara tentang isu-isu politik, seperti kita sandera. Papua juga harus independen, tidak bergantung pada pemerintah pusat. Jadi ada restorasi, independen dan kemakmuran. (*)Artikel ini diterbitkan oleh Tempo Gubernur Papua: Belum Ada Orang Papua Berjiwa IndonesiaGoogle Terjemahan untuk Bisnis

Kamis, 02 Juli 2015

Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri

[ Vladimir Lenin ]
1. Imperialisme, Sosialisme dan Pembebasan Bangsa Tertindas
Imperialisme adalah tahapan tertinggi dari perkembangan kapitalisme. Kapital di negeri-negeri maju telah berkembang melebihi batasan-batasan Negara-bangsa. Kapital telah membangun monopoli yang menggantikan persaingan, dengan begitu menciptakan semua syarat objektif untuk mencapai sosialisme. Oleh sebab itu di Eropa Barat dan di Amerika Serikat, perjuangan revolusioner kaum proletar untuk penggulingan pemerintahan-pemerintahan kapitalis, untuk pengambilalihan aset-aset borjuasi, adalah sesuatu yang mendesak hari ini. Imperialisme memaksa massa ke dalam perjuangan ini dengan mempertajam antagonisme-antagonisme klas hingga ke tingkatan yang sangat besar, dengan memperburuk kondisi-kondisi massa baik secara ekonomi – hutang dan biaya hidup yang tinggi, serta secara politik – tumbuhnya militerisme, peperangan-peperangan yang terus terjadi, meningkatnya reaksi, semakin kuat dan meluasnya penindasan terhadap bangsa-bangsa dan penjarahan kolonial.
Kemenangan sosialisme harus mencapai demokrasi yang sepenuhnya dan, sebagai akibatnya, tidak hanya membawa kesetaraan sepenuh-penuhnya di antara bangsa-bangsa, tetapi juga memberikan hak kepada bangsa-bangsa yang tertindas untuk menentukan nasibnya sendiri, yaitu hak untuk bebas memisahkan diri secara politik. Partai-partai Sosialis yang gagal membuktikan dengan seluruh aktivitas mereka hari ini, dan juga saat revolusi serta setelah kemenangannya, bahwa mereka akan membebaskan bangsa-bangsa yang tertindas dan membangun hubungan dengan mereka di atas dasar sebuah persatuan yang bebas – dan sebuah persatuan yang bebas adalah sebuah formula kosong bila tidak disertai dengan hak untuk memisahkan diri – partai yang seperti itu akan melakukan pengkhianatan terhadap sosialisme.
Tentu saja demokrasi juga merupakan sebuah bentuk Negara yang harus hilang ketika Negara menghilang, namun hal ini akan terjadi hanya dalam proses transisi dari sosialisme yang terkonsolidasi dan menang sepenuhnya menuju ke komunisme sepenuhnya.
2. Revolusi Sosialis dan Perjuangan Untuk Demokrasi
Revolusi Sosialis bukanlah sebuah tindakan tunggal, bukanlah sebuah pertempuran tunggal dalam satu front yang tunggal, namun adalah keseluruhan jaman konflik-konflik klas yang semakin intensif, sebuah rangkaian panjang pertempuran di seluruh front, yaitu pertempuran seputar semua masalah ekonomi dan politik, yang dapat memuncak hanya dalam pengambilalihan hak-milik kaum borjuasi. Akan menjadi kesalahan pokok untuk menganggap bahwa perjuangan untuk demokrasi dapat membelokkan proletariat dari revolusi sosialis, atau menghalang-halangi, atau mengaburkannya, dsb. Sebaliknya, seperti halnya sosialisme tidak dapat menang kecuali kalau sosialisme memajukan demokrasi seutuhnya, maka proletariat tidak akan mampu menyiapkan kemenangan terhadap borjuasi kecuali kalau proletariat melancarkan perjuangan yang luas, konsisten dan revolusioner untuk demokrasi.
Akan juga menjadi kesalahan untuk menghilangkan poin apapun dari program demokratik, sebagai contoh, poin hak penentuan nasib sendiri dari sebuah bangsa, atas dasar bahwa program itu “tidak dapat dicapai”, atau bahwa itu adalah “ilusi” di bawah imperialisme. Pernyataan bahwa hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri tidak bisa dicapai dalam kerangka kapitalisme dapat dimengerti dengan melihat makna ekonomi yang absolut, atau dalam makna politik yang konvensional.
Dalam makna yang pertama, pernyataan tersebut secara fundamental salah dalam teori. Pertama, dalam makna ini, adalah tidak mungkin untuk mendapatkan hal-hal seperti kerja yang dibayar sesuai dengan nilainya atau penghapusan krisis, dsb di bawah kapitalisme. Namun sepenuhnya salah untuk juga berpendapat bahwa hak penentuan nasib sendiri juga tidak dapat dicapai. Kedua, bahkan contoh Norwegia yang memisahkan diri dari Swedia pada 1905 cukup untuk menyanggah argumentasi bahwa pemisahaan diri sebuah bangsa “tidak dapat dicapai”. Ketiga, akan menggelikan untuk menyangkal bahwa dengan sedikit perubahan dalam hubungan politik dan strategis, sebagai contoh antara Jerman dan Inggris, pembentukan Negara-negara baru, Polandia, India, dsb dapat “dicapai” dengan cepat. Keempat, kapital finans, dalam usahanya untuk ekspansi, akan “secara bebas” membeli dan menyuap pemerintahan yang paling bebas, paling demokratik dan paling republik serta para pejabat terpilih dari negeri manapun, bagaimanapun “independennya” pemerintahan tersebut. Dominasi kapital finans, seperti juga kapital secara umum, tidak dapat dihilangkan oleh reformasi bentuk apapun di dalam ranah demokrasi politik, dan hak penentuan nasib sendiri secara keseluruhan dan eksklusif ada di dalam ranah tersebut. Namun dominasi kapital finans tidak sedikitpun menghancurkan signifikansi demokrasi politik sebagai bentuk penindasan kelas dan perjuangan kelas yang lebih bebas, lebih luas, dan lebih jelas. Oleh karena itu semua argumentasi yang menyatakan bahwa “kemustahilan mencapai” secara ekonomi salah satu tuntutan demokrasi politik di dalam kapitalisme mereduksi diri mereka sendiri ke dalam sebuah definisi yang secara teori keliru mengenai relasi-relasi umum dan fundamental dari kapitalisme dan dari demokrasi politik secara umum.
Dalam makna yang kedua, pernyataan tersebut adalah tidak lengkap dan tidak tepat, karena bukan hanya hak sebuah bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, tetapi juga semua tuntutan pokok dalam demokrasi politik adalah “mungkin untuk dicapai” di bawah imperialisme, hanya dalam bentuk yang tidak lengkap, termutilasi dan sebagai sebuah pengecualian yang langka (sebagai contoh, pemisahaan Norwegia dari Swedia pada 1905). Tuntutan untuk kemerdekaan segera bagi negeri-negeri jajahan, seperti yang diajukan oleh semua kaum Sosial Demokrat revolusioner, juga “tidak mungkin dicapai” di bawah kapitalisme tanpa serangkaian revolusi. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa Sosial Demokrasi harus menahan diri dari melancarkan sebuah perjuangan yang segera dan paling tegas untuk semua tuntutan tersebut – untuk menahan diri hanya akan memberikan keuntungan pada borjuasi dan reaksi. Sebaliknya, hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa penting untuk memformulasikan dan memajukan semua tuntutan tersebut, bukan dengan cara yang reformis, namun dengan cara yang revolusioner; bukan dalam kerangka legalitas borjuasi, namun dengan menerobosnya; bukan dengan membatasi diri pada pidato-pidato parlementer dan protes-protes verbal, namun dengan mendorong massa ke dalam aksi yang riil, dengan memperluas dan mengobarkan perjuangan untuk setiap tuntutan demokratik yang pokok, sampai dengan dan termasuk juga serangan langsung proletariat terhadap borjuasi, yakni sampai ke revolusi sosialis yang akan melucuti borjuasi. Revolusi sosialis dapat terjadi bukan hanya akibat pemogokan umum, demonstrasi jalanan, kerusuhan akibat kelaparan, pemberontakan di dalam tentara atau pemberontakan di negeri-negeri jajahan, namun juga akibat krisis politik apapun, seperti skandal Dreyfus[1], insiden Zabern[2], atau dalam hubungannya dengan referendum untuk memisahkan diri dari sebuah bangsa yang tertindas, dsb.
Intensifikasi penindasan nasional di bawah imperialisme menjadikan sebuah keharusan bagi Sosial Demokrasi untuk tidak meninggalkan apa yang digambarkan oleh borjuasi sebagai perjuangan “utopis” bagi kemerdekaan bangsa-bangsa untuk memisahkan diri, tetapi, sebaliknya, untuk mengambil keuntungan lebih banyak dari konflik-konflik yang juga muncul atas dasar perjuangan tersebut dengan tujuan untuk membangkitkan aksi massa dan serangan revolusioner terhadap borjuasi.
3. Makna Hak Penentuan Nasib Sendiri dan Hubungannya dengan Federasi
Hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri bermakna hanya hak untuk kemerdekaan dalam arti politik, hak untuk pemisahan politik secara bebas dari bangsa yang menindas. Secara konkrit, tuntutan demokratik dan politik ini berarti kebebasan sepenuhnya untuk beragitasi mendukung pemisahan diri dan kebebasan untuk menyelesaikan persoalan pemisahan diri dengan cara referendum dari bangsa yang ingin memisahkan diri. Sebagai akibatnya, tuntutan ini bukan berarti identik dengan tuntutan memisahkan diri, untuk partisi, untuk pembentukan negeri-negeri yang kecil. Tuntutan tersebut adalah ekspresi logis dari perjuangan melawan penindasan nasional dalam setiap bentuk. Semakin dekat sistem demokratik negeri tersebut kepada kebebasan sepenuhnya untuk memisahkan diri, akan menjadi semakin lemah dan jarang praktek untuk memperjuangkan pemisahan diri; karena keuntungan-keuntungan dari negeri-negeri yang besar, baik dari sudut pandang perkembangan ekonomi dan dari sudut pandang kepentingan massa, adalah hal yang tidak diragukan lagi; dan keuntungan-keuntungan ini meningkat seiring dengan pertumbuhan kapitalisme. Pengakuan terhadap hak penentuan nasib sendiri tidaklah sama dengan membuat federasi menjadi sebuah prinsip. Seseorang dapat saja menentang dengan teguh prinsip federasi tersebut dan mendukung sentralisme demokratik, namun lebih memilih federasi ketimbang ketidaksetaraan nasional sebagai jalan satu-satunya untuk menuju sentralisme demokratik yang utuh. Adalah dari cara pandang ini, Marx, meskipun seorang sentralis, lebih memilih federasi Irlandia dengan Inggris ketimbang penundukan paksa Irlandia kepada Inggris.
Tujuan sosialisme adalah bukan hanya untuk menghapus pembagian umat manusia hari ini ke dalam negeri-negeri kecil dan semua isolasi nasional; bukan hanya untuk membawa bangsa-bangsa menjadi semakin dekat, namun juga untuk menyatukan mereka. Dan untuk mencapai tujuan ini kita harus, di satu sisi, menjelaskan kepada massa sifat reaksioner dari ide-ide Renner dan Otto Bauer mengenai apa-yang-disebut-sebagai “otonomi budaya nasional” dan, di sisi yang lain, menuntut kemerdekaan bangsa-bangsa yang tertindas, bukan dalam kata-kata umum dan samar-samar, bukan dalam pernyataan-pernyataan kosong, bukan dengan “menunda” persoalan tersebut hingga sosialisme dimenangkan, namun dengan sebuah program politik yang terformulasikan secara jelas dan tepat, yang secara khusus akan menjelaskan kemunafikan dan kepengecutan kaum Sosialis di negeri-negeri yang menindas. Seperti juga umat manusia dapat mencapai penghapusan klas-klas hanya dengan melewati periode transisi dari kediktaktoran klas-klas yang tertindas, demikian juga umat manusia dapat mencapai keniscayaan persatuan bangsa-bangsa hanya dengan melewati periode kemerdekaan sepenuhnya dari semua bangsa-bangsa yang tertindas, yaitu kebebasan mereka untuk memisahkan diri.
4. Presentasi Proletariat Revolusioner Mengenai Persoalan Hak Sebuah Bangsa Untuk Menentukan Nasib Sendiri
Bukan hanya tuntutan hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri namun juga semua item dari program demokratik minimum kita telah diajukan sebelum kita, jauh sejak abad ke tujuh belas dan delapan belas, oleh kaum borjuis kecil. Dan kaum borjuis kecil, yang percaya pada kapitalisme “damai”, hingga hari ini terus mengedepankan semua tuntutan tersebut dengan cara utopis, tanpa melihat perjuangan klas dan fakta bahwa perjuangan kelas ini telah menjadi semakin intensif di bawah demokrasi. Gagasan persatuan damai dari bangsa-bangsa yang setara di bawah imperialisme, yang menipu rakyat, dan yang diajukan oleh kelompok Kautsky[3], adalah seperti itu. Untuk melawan kaum utopis yang filistin dan oportunis ini, program Sosial Demokrasi harus menunjukkan bahwa di bawah imperialisme pembagian bangsa-bangsa menjadi yang menindas dan yang tertindas adalah sebuah kenyataan yang pokok, yang paling penting dan tidak dapat dihindari.
Kaum proletariat dari bangsa-bangsa yang menindas tidak dapat membatasi dirinya sendiri pada ungkapan-ungkapan yang umum dan lazim menentang aneksasi dan mendukung hak yang setara dari bangsa-bangsa secara umum, sesuatu yang dapat diulang-ulang oleh kaum borjuasi pasifis manapun. Proletariat tidak dapat menghindari masalah yang sangat “tidak menyenangkan” bagi kaum borjuasi imperialis, yakni, masalah perbatasan sebuah bangsa yang berdasarkan atas penindasan nasional. Kaum proletariat harus melawan pengekangan paksa bangsa-bangsa yang tertindas di dalam batas-batas bangsa tertentu, dan inilah makna perjuangan untuk hak penentuan nasib sendiri. Kaum proletariat harus menuntut hak politik untuk memisahkan diri bagi negeri-negeri jajahan dan bagi bangsa-bangsa yang ditindas oleh bangsanya “sendiri”. Jika kaum proletariat tidak melakukan hal itu, internasionalisme proletariat akan menjadi ungkapan yang tidak bermakna; saling percaya dan solidaritas klas antar buruh dari bangsa-bangsa yang menindas dan tertindas akan menjadi mustahil; kemunafikan dari kaum reformis dan para pendukung Kautsky yang mendukung hak penentuan nasib sendiri namun bungkam mengenai bangsa-bangsa yang ditindas oleh bangsa “mereka” dan dipenjara secara paksa di dalam negeri “mereka” akan tetap tidak terekspos.
Kaum Sosialis dari bangsa-bangsa yang tertindas, di sisi yang lain, secara khusus harus berjuang untuk dan mempertahankan persatuan absolut (juga secara organisasional) antara buruh dari bangsa yang tertindas dengan buruh dari bangsa yang menindas. Tanpa persatuan semacam itu akan menjadi mustahil untuk mempertahankan kebijakan proletariat yang independen dan solidaritas klas dengan proletariat dari negeri-negeri lain di hadapan semua akal-akalan, pengkhianatan dan tipu daya borjuasi; karena kaum borjuasi dari bangsa yang tertindas selalu mengubah slogan pembebasan nasional menjadi alat untuk menipu buruh; dalam politik internal kaum borjuasi bangsa yang tertindas menggunakan slogan tersebut sebagai alat untuk melakukan perjanjian-perjanjian reaksioner dengan kaum borjuasi dari bangsa yang berkuasa (sebagai contoh, kaum borjuasi Polandia di Austria dan Rusia, yang membuat perjanjian dengan kelompok reaksi untuk menindas kaum Yahudi dan orang Ukraina); dalam ranah politik luar negeri dia berusaha membuat perjanjian dengan salah satu pesaing kekuatan imperialis dengan tujuan untuk memenangkan kepentingan-kepentingan predatornya sendiri (kebijakan negeri-negeri kecil di Balkan, dsb).
Kenyataan bahwa di bawah kondisi-kondisi tertentu perjuangan pembebasan nasional melawan satu kekuatan imperialis dapat digunakan oleh Kekuatan “Besar” lainnya untuk kepentingan yang juga imperialis tidak boleh mendorong Sosial Demokrasi untuk mencampakkan pengakuan terhadap hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri, seperti halnya dalam banyak kasus dimana kaum borjuasi menggunakan slogan republik untuk tujuan penipuan politik dan perampokan ekonomi, contohnya di negeri-negeri Amerika Latin, tidak mendorong mereka untuk meninggalkan republikanisme.
5. Marxisme dan Proudhonisme Mengenai Persoalan Kebangsaan
Berkebalikan dengan kaum demokrat borjuis-kecil, Marx menganggap semua tuntutan demokratik, tanpa terkecuali, bukanlah sebagai sebuah hal yang aboslut, namun merupakan ekspresi sejarah dari perjuangan massa rakyat, yang dipimpin oleh kaum borjuasi, dalam melawan feodalisme. Tidak ada satu tuntutan demokratik pun yang tidak dapat menjadi, atau belum menjadi, di bawah kondisi-kondisi tertentu, sebuah instrumen kaum borjuasi untuk menipu kaum buruh. Untuk hanya memilih satu tuntutan demokrasi politik, yaitu, hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri, dan mempertentangkannya dengan tuntutan-tuntutan demokrasi politik lainnya, adalah secara fundamental keliru dalam teori. Dalam praktek, kaum proletariat akan mampu mempertahankan kemandiriannya hanya jika dia mensubordinasikan perjuangannya untuk semua tuntutan demokratik, termasuk juga tuntutan untuk sebuah republik, kepada perjuangan revolusionernya untuk menggulingkan borjuasi.
Di sisi yang lain, berkebalikan dari kelompok Proudhon, yang “menolak” persoalan kebangsaan “atas nama revolusi sosial”, Marx, yang memikirkan terutama kepentingan perjuangan klas buruh di negeri-negeri maju, memajukan prinsip pokok internasionalisme dan sosialisme, yakni bahwa tidak ada bangsa yang dapat bebas jika ia menindas bangsa lain.
Justru dari sudut pandang kepentingan gerakan revolusioner dari kaum buruh Jerman Marx pada tahun 1898 menuntut supaya demokrasi yang menang-jaya di Jerman harus memproklamirkan dan memberikan kemerdekaan kepada bangsa-bangsa yang ditindas oleh Jerman. Justru dari sudut pandang perjuangan revolusioner kaum buruh Inggris Marx pada tahun 1869 menuntut pemisahan Irlandia dari Inggris, dan menambahkan: “…meskipun setelah pemisahan mungkin akan muncul federasi.” Hanya dengan memajukan tuntutan tersebut maka Marx benar-benar mendidik kaum buruh Inggris dalam semangat internasionalisme. Hanya dengan cara itu dia mampu mempertentangkan solusi revolusioner dari sebuah masalah historis tertentu dengan kaum oportunis dan reformisme borjuis, yang bahkan hingga sekarang, setengah abad kemudian, telah gagal untuk mencapai “reforma” Irlandia. Hanya dengan cara ini Marx dapat – tidak seperti para apologis kapital yang berteriak-teriak mengenai hak bangsa-bangsa kecil untuk memisahkan diri sebagai sesuatu yang utopis dan mustahil, dan mengenai sifat progresif dari konsentrasi ekonomi dan juga politik – mendorong sifat progresif dari konsentrasi tersebut dengan cara yang non-imperialis, untuk mendorong persatuan dari bangsa-bangsa, bukan dengan pemaksaan, namun atas dasar persatuan bebas kaum proletariat dari semua negeri. Hanya dengan cara ini Marx mampu, juga dalam hal solusi untuk persoalan kebangsaan, mempertentangkan aksi revolusioner massa dengan pengakuan verbal dan yang seringkali munafik atas kesetaraan dan hak sebuah bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Perang Imperialis tahun 1914-16 dan kandang Augean[4] kemunafikan dari kaum oportunis dan para Kautskyian yang dibongkarnya telah menegaskan kebenaran kebijakan Marx, yang harus menjadi model untuk semua negeri-negeri maju; karena mereka semua saat ini menindas bangsa-bangsa lain.
6. Tiga Tipe Negeri Dalam Hubungannya dengan Hak Sebuah Bangsa Untuk Menentukan Nasib Sendiri
Dalam hal ini, negeri-negeri harus dibagi menjadi tiga tipe utama:
Pertama, negeri-negeri kapitalis maju Eropa Barat dan Amerika Serikat. Di negeri-negeri ini gerakan borjuis nasional yang progresif telah berakhir lama sekali. Setiap bangsa “besar” tersebut menindas bangsa lain di dalam negeri-negeri jajahan dan di dalam negeri mereka sendiri. Tugas proletariat di negeri-negeri berkuasa tersebut adalah sama dengan proletariat di Inggris pada abad kesembilan belas dalam hubungannya dengan Irlandia.
Kedua, Eropa Timur: Austria, Balkan dan terutama Rusia. Di sini adalah abad keduapuluh yang secara khusus mengembangkan gerakan nasional borjuis-demokratik dan mengintensifkan perjuangan nasional. Tugas proletariat di negeri-negeri tersebut – berkaitan dengan pemenuhan reformasi borjuis-demokratik mereka, juga berkaitan dengan membantu revolusi sosialis di negeri-negeri lainnya – tidak dapat tercapai kecuali kalau mereka mendukung hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut tugas paling sulit namun paling penting adalah untuk menggabungkan perjuangan klas dari kaum buruh bangsa-bangsa yang menindas dengan perjuangan klas dari kaum buruh bangsa-bangsa yang tertindas.
Ketiga, negeri-negeri semi-kolonial seperti Cina, Persia, Turki dan semua negeri-negeri jajahan, yang total populasinya berjumlah hingga satu miliar. Di negeri-negeri tersebut, gerakan borjuis-demokratik entah baru saja mulai atau jauh sekali dari selesai. Kaum sosialis bukan saja harus menuntut kemerdekaan tanpa syarat dan segera untuk negeri-negeri jajahan tanpa kompensasi – dan tuntutan ini dalam ekspresi politiknya berarti, tidak kurang dan tidak lebih, pengakuan atas hak penentuan nasib sendiri – tetapi juga harus memberikan dukungan tegas kepada elemen-elemen yang lebih revolusioner dalam gerakan borjuis-demokratik untuk pembebasan nasional di negeri-negeri tersebut dan membantu pemberontakan mereka – jika perlu, perang revolusioner mereka – melawan kekuatan-kekuatan imperialis yang menindas mereka.
7. Sosial-Sovinisme dan Hak Sebuah Bangsa Untuk Menentukan Nasib Sendiri
Epos Imperialis dan perang tahun 1914-1916 [Perang Dunia Pertama] terutama sekali telah membawa ke depan tugas melawan sovinisme dan nasionalisme di negeri-negeri maju. Mengenai masalah hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri, ada dua macam pendapat di antara kaum sosial-sovinis, yaitu kaum oportunis dan kaum Kautskyian, yang memberikan hiasan pada perang imperialis yang reaksioner ini dengan menyatakannya sebagai perang untuk “membela tanah air”.
Di satu sisi, ada para pelayan borjuasi yang membela aneksasi dengan alasan bahwa konsentrasi politik dan imperialisme adalah sesuatu yang progresif dan yang menolak hak penentuan nasib sendiri dengan alasan bahwa hal itu adalah utopis, ilusi, borjuis kecil, dsb. Di antara mereka adalah Cunow[5], Parvus[6] dan para oportunis ekstrim di Jerman, sebagian dari kaum Fabian[7] dan para pemimpin serikat buruh di Inggris, dan kaum oportunis, Semkovsky, Liebman, Yurkevich, dan yang lainnya di Rusia.
Di sisi yang lain, ada kaum Kautskyian, termasuk Vandervelde[8], Renaudel[9] dan banyak kaum pasifis di Inggris, Perancis, dsb. Mereka mendukung persatuan dengan orang-orang yang disebut sebelumnya, dan dalam praktek tingkah laku mereka adalah sama, dimana mereka mendukung hak penentuan nasib sendiri dengan cara yang sepenuhnya verbal dan munafik. Mereka menganggap tuntutan untuk kebebasan pemisahan politik sebagai sesuatu yang “berlebihan” (“zu viel verlangt” – Kautsky dalam Neue Zeit, 21 Mei 1915); mereka tidak mendukung perlunya taktik-taktik revolusioner, terutama sekali untuk kaum Sosialis di negeri-negeri yang menindas, tetapi, sebaliknya, mereka mengabaikan kewajiban revolusioner mereka, mereka membenarkan oportunisme mereka, mereka mempermudah penipuan terhadap rakyat, mereka justru menghindari masalah perbatasan sebuah negeri yang dengan paksa mengekang bangsa-bangsa jajahan, dsb.
Kedua kelompok ini adalah kaum oportunis yang melacurkan Marxisme dan telah kehilangan semua kapasitas untuk memahami makna teoritis dan urgensi praktis dari taktik-taktik Marx, dimana dia telah memberikan sebuah contoh terkait dengan Irlandia.
Masalah aneksasi telah menjadi sebuah masalah yang terutama mendesak karena perang. Namun apa itu aneksasi! Jelas, untuk melakukan protes terhadap aneksasi menyiratkan entah pengakuan atas hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri, atau bahwa protes tersebut berdasarkan frase pasifis yang membela status quo dan menentang semua kekerasan termasuk kekerasan revolusioner. Frase semacam ini sangatlah keliru, dan tidak sesuai dengan Marxisme.
8. Tugas-tugas Kongkrit Proletariat ke Depan
Revolusi sosialis dapat saja mulai dalam waktu yang sangat dekat. Pada momen tersebut kaum proletariat akan dihadapkan dengan tugas mendesak untuk merebut kekuasaan, mengambil alih bank-bank dan melakukan langkah-langkah diktaktorial lainnya. Dalam situasi semacam itu, kaum borjuasi, dan terutama sekali para intelektual seperti kaum Fabian dan kaum Kautskyian, akan berusaha untuk menghambat dan mengganggu revolusi, untuk membatasinya pada tujuan-tujuan demokratik yang sempit. Sementara semua tuntutan yang murni demokratik dapat saja – pada saat proletariat telah mulai menyerbu benteng-benteng kekuasaan borjuasi – dalam makna tertentu menjadi hambatan bagi revolusi, meskipun demikian, keharusan untuk mewartakan dan memberikan kebebasan kepada semua bangsa-bangsa tertindas (yaitu hak mereka untuk menentukan nasib sendiri) akan sama mendesaknya dalam revolusi sosialis seperti juga mendesak bagi kemenangan revolusi borjuis-demokratik, contohnya di Jerman 1848 atau di Rusia pada 1905.
Namun, lima tahun, sepuluh tahun atau bahkan lebih lama lagi bisa belalu sebelum revolusi sosialis dimulai. Dalam hal itu, tugas kita adalah untuk mendidik massa dalam semangat revolusioner agar membuat mustahil bagi kaum sovinis dan oportunis Sosialis untuk berada dalam partai buruh dan mencapai kemenangan serupa seperti tahun 1914-1916. Menjadi tugas kaum Sosialis untuk menjelaskan kepada massa bahwa kaum Sosialis Inggris yang gagal menuntut kebebasan untuk memisahkan diri bagi negeri-negeri jajahan dan bagi Irlandia; bahwa kaum Sosialis Jerman yang gagal menuntut kebebasan untuk memisahkan diri bagi negeri-negeri jajahan, bagi rakyat Alsatian[10], bagi Denmark dan bagi Polandia, dan yang gagal untuk menjalankan propaganda revolusioner langsung serta aksi massa revolusioner ke dalam medan perjuangan melawan penindasan nasional, yang gagal untuk menggunakan kasus-kasus seperti insiden Zabern untuk melancarkan propaganda bawah tanah yang luas di antara kaum proletariat dari bangsa yang menindas, untuk mengorganisir demonstrasi jalanan dan aksi massa revolusioner; bahwa kaum Sosialis Rusia yang gagal untuk menuntut kebebasan untuk memisahkan diri bagi Finlandia, Polandia, Ukraina, dsb, dsb – bertingkah laku seperti kaum sovinis, seperti antek-antek dari kaum borjuasi imperialis dan monarki imperialis yang berlumuran darah dan lumpur.
9. Sikap Sosial Demokrasi Rusia dan Polandia serta Internasional Kedua[11] terhadap Hak Penentuan Nasib Sendiri.
Perbedaan antara kaum Sosial Demokrat revolusioner Rusia dan Sosial Demokrat Polandia mengenai masalah hak penentuan nasib sendiri muncul sedini tahun 1903 di kongres yang mensahkan program Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia, dan yang, kendati protes dari delegasi Sosial Demokrat Polandia, memasukkan program di poin 9, yang mengakui hak sebuah bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Sejak saat itu kaum Sosial Demokrat Polandia, atas nama Partai mereka, tidak pernah mengulangi pengajuan untuk menghilangkan poin 9 dari program kita atau untuk menggantikannya dengan formulasi yang lainnya.
Di Rusia – dimana tidak kurang dari 57 persen, yakni lebih dari 100 juta populasi, berasal dari bangsa-bangsa yang tertindas, dimana bangsa-bangsa tersebut terutama menempati provinsi-provinsi di perbatasan, dimana beberapa dari bangsa-bangsa tersebut lebih berbudaya ketimbang Rusia Raya, dimana sistem politik dibedakan oleh karakternya yang sangat barbar dan abad-pertengahan, dimana revolusi borjuis-demokratik belum dituntaskan – pengakuan hak sebuah bangsa yang ditindas oleh tsarisme untuk bebas memisahkan diri dari Rusia adalah sepenuhnya kewajiban bagi Sosial Demokrasi demi kepentingan tugas-tugas demokratik dan sosialisnya. Partai Kita, yang didirikan ulang pada Januari 1912, mensahkan resolusi pada 1913 yang menegaskan hak untuk menentukan nasib sendiri dan menjelaskannya dalam makna yang kongkrit seperti yang dijelaskan di atas.
Kegilaan sovinisme Rusia-Raya berkecamuk pada 1914-16 di antara kaum borjuasi dan kaum Sosialis oportunis (Rubanovich[12], Plekhanov[13], Nashe Dyelo[14], dsb) mendorong kita untuk menuntut lebih kuat ketimbang sebelumnya dan untuk menyatakan bahwa mereka-mereka yang menolaknya melayani, dalam praktek, benteng sovinisme dan tsarisme Rusia Raya. Partai kita menyatakan bahwa kita dengan tegas menolak semua tanggung jawab atas oposisi terhadap hak penentuan nasib sendiri.
Formulasi terakhir dari posisi Sosial Demokrasi Polandia terhadap persoalan kebangsaan (deklarasi yang dibuat oleh Sosial Demokrasi Polandia di Konferensi Zimmerwald[15]) mengandung ide-ide sebagai berikut:
Deklarasi ini mengutuk Jerman dan pemerintahan lainnya yang menganggap “provinsi Polandia” sebagai sandera untuk permainan kompensasi mendatang dan dengan demikian “merampas dari rakyat Polandia hak untuk menentukan nasibnya sendiri.” Deklarasi ini menyatakan: “Sosial Demokrasi Polandia secara tegas dan serius memprotes pemecahan dan partisi terhadap sebuah negeri” … Sosial Demokrasi Polandia mengutuk kaum Sosialis yang menyerahkan kepada Hohenzollern[16] “tugas membebaskan bangsa-bangsa tertindas.” Sosial Demokrasi Polandia mengekspresikan keyakinan bahwa hanya dengan partisipasi dalam perjuangan kaum proletariat internasional revolusioner yang akan datang, dan hanya dalam perjuangan untuk sosialisme, “rantai beban penindasan nasional dapat dihancurkan dan menghapus semua bentuk dominasi asing, dan memastikan untuk rakyat Polandia kemungkinan untuk berkembang secara bebas dan menyeluruh sebagai anggota yang setara di dalam sebuah Liga Bangsa-Bangsa.” Deklarasi ini juga mengakui bahwa perang yang sekarang ada adalah “perang saudara ganda” “bagi rakyat Polandia.” (Bulletin of the International Socialist Committee, No. 2, 27 September 1915, hlm 15.)
Tidak ada perbedaan dalam substansi antara postulat-postulat di atas dengan pengakuan hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri kecuali bahwa formulasi politik mereka masih terlalu kabur dan samar-samar ketimbang mayoritas program dan resolusi dari Internasional Kedua . Usaha apapun untuk mengekspresikan ide-ide tersebut dalam formula politik yang tepat dan untuk menentukan apakah ide-ide ini berlaku dalam sistem kapitalis atau hanya di dalam sistem sosialis akan semakin jelas membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh kaum Sosial-Demokrat Polandia dalam menyangkal hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri.
Keputusan Kongres Internasional Kedua yang diselenggarakan di London pada 1896, yang mengakui hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri, harus, di atas dasar postulat-postulat yang disebutkan di atas, ditambahi dengan referensi pada: (1) urgensi yang terutama dari tuntutan ini di bawah imperialisme; (2) sifat kondisional secara politik dan isi klas dari semua tuntutan demokrasi politik, termasuk tuntutan ini; (3) perlunya membedakan tugas-tugas konkrit dari kaum Sosial Demokrat di bangsa-bangsa yang menindas dan di bangsa-bangsa yang tertindas; (4) pengakuan hak penentuan nasib sendiri dari kaum oportunis dan kaum Kautskyian yang tidak konsisten, sepenuhnya verbal, dan, oleh karenanya, sejauh signifikansi politiknya, munafik; (5) kesamaan yang sesungguhnya antara kaum sonivis dan kaum Sosial Demokrat, terutama sekali kaum Sosial Demokrat dari Kekuatan-kekuatan Besar (Rusia Raya, Anglo-Amerika, Jerman, Perancis, Italia, Jepang, dsb) yang tidak mendukung kebebasan untuk memisahkan diri bagi koloni-koloni dan bangsa-bangsa yang ditindas oleh bangsa “mereka sendiri”; (6) perlunya mensubordinasi perjuangan untuk tuntutan ini, dan juga untuk semua tuntutan demokrasi politik yang pokok, kepada perjuangan massa revolusioner yang segera untuk menggulingkan pemerintahan borjuis dan untuk mencapai sosialisme.
Untuk mencangkokkan kepada Internasional cara pandang beberapa bangsa-bangsa kecil – terutama sekali cara pandang kaum Sosial Demokrat Polandia yang dalam perjuangannya melawan borjuasi Polandia, yang menipu rakyat dengan slogan-slogan nasionalis, disesatkan ke penolakan hak menentukan nasib sendiri – akan merupakan kesalahan teoritis. Itu akan menggantikan Marxisme dengan Prodhounisme dan, dalam praktek, akan memberikan dukungan tidak-sengaja kepada sovinisme dan oportunisme yang paling berbahaya dari bangsa-bangsa Besar.
Dewan Editorial Sotsial-Democrat, Organ Sentral dari P.B.S.D.R [Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia]
Dalam Die Neue Zeit pada tanggal 3 Maret 1916, yang baru saja muncul, Kautsky secara terbuka mengulurkan tangan rekonsiliasi Kristen kepada Austerlitz, yakni seorang perwakilan sovinisme Jerman yang paling busuk, menolak kebebasan untuk memisahkan diri bagi bangsa-bangsa yang tertindas di Hapsburg Austria namun mengakuinya untuk Polandia Rusia, sebagai layanan kecil untuk Hindenburg dan Wilhelm II. Tidak ada ekspose mengenai Kautskyisme yang lebih baik daripada ini!
—————
Catatan Untuk Tesis “Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa Untuk Menentukan Nasib Sendiri”
Ditulis antara Januari-Februari 1916. Pertama kali diterbitkan tahun 1937 dalam Lenin Miscellany XXX, diterjemahkan dari bahasa Jerman
Ada persamaan antara bagaimana umat manusia harus mencapai penghapusan klas-klas dengan bagaimana umat manusia dapat mencapai fusi bangsa-bangsa. Seperti halnya hanya sebuah tahapan transisi dari kediktaktoran oleh klas yang tertindas akan membawa kita ke penghapusan klas-klas, maka hanya kemerdekaan bangsa-bangsa tertindas dan penghapusan secara riil penindasan nasional akan membawa kita pada fusi bangsa-bangsa, dan kriteria politik dari kemungkinan ini ada pada kebebasan untuk memisahkan diri. Kebebasan untuk memisahkan diri adalah alat politik terbaik dan satu-satunya untuk melawan sistem negeri-negeri kecil yang konyol dan isolasi nasional yang, karena nasib baik umat manusia, tak terelakkan sedang dihancurkan oleh seluruh perkembangan kapitalis.
Catatan:
[1] Alfred Dreyfys, seorang perwira Prancis, seorang Yahudi, yang pada 1894 dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di pengadilan militer, berdasarkan tuduhan fitnah bahwa dia melakukan spionase dan pengkhianatan. Pengadilan yang provokatif dan penuh skandal ini diorganisir oleh kaum reaksioner. Gerakan untuk mendukung Dreyfus mengekspos adanya korupsi di pengadilan dan pemerintahan, dan menajamkan pertentangan antara kaum republikan dan royalis. Pada 1889 Dreyfus dimaafkan dan dibebaskan. Hanya pada 1906, setelah kasus ini diperiksa kembali, Dreyfus lalu direhabilitasi.
[2] Pada 1913, seorang perwira Jerman menggunakan kata yang kasar yang menghina penduduk kota Saverne. Penduduk Saverne melakukan protes tetapi ditindas secara kejam oleh tentara, dimana banyak orang ditangkap tanpa alasan. Peristiwa ini lalu menyulut perdebatan besar di Jerman dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah Jerman.
[3] Karl Kautsky (1854-1938) menyandang reputasi sebagai guru besar Marxis Jerman. Lenin pun pada satu ketika menganggapnya sebagai gurunya. Akan tetapi, dengan semakin dekatnya revolusi, semakin menjauh ia dari Marxisme revolusioner. Sampai akhirnya dia menentang Revolusi Oktober mati-matian dan menjadi salah satu kekuatan kontra-revolusioner. Lenin dan Trotsky mengecam mantan guru mereka ini sebagai pengkhianat.
[4] Kandang Augean merujuk pada mitos Herkules, dimana Herkules ditugasi untuk membersihkan Kandang Augean yang penuh dengan kotoran ternak, yang selama 30 tahun tidak pernah dibersihkan.
[5] Heinrich Cunow (1862-1936) adalah seorang politisi dari Partai Sosial Demokrat Jerman dn editor koran teori Partai Sosial Demokrat Jerman, Die Neue Zeit, dari 1917 hingga 1923. Dia mendukung Perang Dunia Pertama dan pecah dari Marxisme.
[6] Alexander Parvus (1867-1924) adalah politisi Partai Sosial Demokrat Jerman, yang juga aktif dalam gerakan revolusioner Rusia. Pada Revolusi 1905, dia terlibat dan ditangkap oleh polisi Rusia bersama dengan Trotsky dan kaum revolusioner Rusia lainnya. Sebagai bagian dari sosial demokrasi Jerman, dia mendukung Perang Dunia Pertama.
[7] Fabian Society adalah sebuah gerakan sosialis intelektual di Inggris yang tujuannya adalah mendorong prinsip sosial demokrasi melalui cara-cara reformis dan bukan cara-cara revolusi. Kelompok ini dibentuk pada tahun 1884. Sekarang kelompok ini adalah “think tank” untuk gerakan New Labournya Tony Blair, sebuah gerakan sayap kanan di Partai Buruh Inggris.
[8] Emile Vandervelde (1866-1938) adalah seorang politisi dari Belgia dan presiden Partai Buruh Belgia dari 1928-1938. Dia juga mengetuai Internasional Kedua dari 1900-1918, dimana dia mendukung Perang Dunia Pertama.
[9] Pierre Renaudel (1871-1935) adalah politisi sosialis dari Prancis, dan menjadi pemimpin nasional dari SFIO, yakni seksi Prancis dari Internasional Kedua, yang hari ini adalah Partai Sosialis Prancis. Dia adalah seorang reformis yang mendukung Perang Dunia Pertama.
[10] Rakyat Alsatian adalah dari daerah Alsace, yakni wilayah Prancis yang berbatasan dengan Jerman. Dari 1871-1918 daerah ini ada di bawah jajahan Jerman.
[11] Internasional Kedua dibentuk pada 1881 oleh partai-partai buruh Eropa. Organisasi internasional ini mendasarkan dirinya pada gagasan Marxisme. Akan tetapi dalam perjalanannya, banyak para pemimpin Internasional Kedua mulai mengadopsi gagasan reformisme. Pada 1914, mayoritas seksi Internasionale Kedua mendukung Perang Dunia Pertama, dan ini menandai kehancuran organisasi tersebut.
[12] Ilya Rubanovich (1859-1920) adalah seorang revolusioner Rusia yang bergabung dengan kelompok Narodnik, yakni Narodnaya Volya, pada 1880an, sebuah kelompok populis yang berhasil membunuh Tsar Alexander II. Dia lalu bergabung dengan Partai Sosialis Revolusioner. Pada saat Perang Dunia I, ia lalu mendukung perang ini sebagai perang untuk membela tanah air. Dia juga lalu menentang Revolusi Oktober.
[13] Georgi Plekhanov (1856-1918) adalah Bapak Marxisme Rusia. Dia adalah salah satu pendiri organisasi Marxis pertama di Rusia: Kelompok Emansipasi Buruh. Dianggap oleh Lenin sebagai gurunya, dia pada akhirnya berseberangan dengan Lenin mengenai masalah Revolusi Rusia 1917, dan menentang Revolusi Oktober.
[14] Nashe Dyelo adalah koran kaum reformis Rusia.
[15] Konferensi Zimmerwald adalah konferensi internasional yang diselenggarakan oleh kaum sosial-demokrat atau Marxis yang menentang Perang Dunia, yang bertempat di Zimmerwald, Switzerland, pada 8 September 1915. Setelah mayoritas kaum sosial demokrat Internasional Kedua memberikan dukungan mereka kepada negara mereka masing-masing untuk meluncurkan Perang Dunia, kaum Marxis revolusioner yang menentang perang pecah dari kaum sosial-demokrat reformis ini. Ikut dalam konferensi ini antara lain adalah Lenin, Trotsky, Zinoviev, Radek, dan Martov. Rosa Luxemburg walau tidak hadir juga mendukung kelompok Zimmerwald.
[16] Hohenzollern adalah adalah keluarga bangsawan yang memegang kekuasaan di Prussia, Jerman, dan Rumania semenjak tahun 1100. Di Jerman dan Prusia, tahta kerajaan mereka ditumbangkan oleh Revolusi Jerman 1918. Di Romania, pada 1947 mereka ditumbangkan oleh gerakan Komunis.
[17] Friedrich Austerlitz (1862-1931) adalah seorang jurnalis dan politisi sosial demokrat Austria.
[18] Paul von Hindenburg (1847-1934) adalah seorang Jendral dari Jerman di dalam Perang Dunia Pertama dan lalu menjadi presiden Jerman dari tahun 1925-1934
[19] Wilhem II (1859 -1941) adalah Kaisar Jerman yang terakhir, yang memerintah Kerajaan Jerman dan Prusia dari 1888 hingga 1918, dimana kerajaan dia ditumbangkan oleh Revolusi Jerman.
Karya-karya V.I. Lenin | Séksi Bahasa Indonesia M.I.A.
—————————
Ditulis: antara Januari-Februari 1916
Diterbitkan: pada April 1916 di majalah Vorbote No 2. Diterbitkan juga dalam bahasa Rusia pada Oktober 1916 di Sbornik Sotsial-Demokrata, No 1.
Penerjemah: Dipo Negoro (6 Juni 2013)
Penyunting: Ted Sprague
Sumber Terjemahan: “The Socialist Revolution and the Right of Nations to Self-Determination”

Jumat, 05 Juni 2015

TEOLOGI ABSENSIA :


 SEBUAH TAWARAN
Haryo Tejo Bawono Parahyangan Catholic University, Bandung, Indonesia ABSTRACT Referring back to the age-old tradition of Negative Theology and combining it with deconstructive 'Heuristic Way' of French Postmodern PhilosophicoTheology , this article seeks to reiterate the centrality of 'Absence' vis-à- vis 'Metaphysics of Presence'. Theology of absence is offered as a middle way between affirmative and negative theology by incorporating some basic ideas of Derrida, Jean-Luc Marion, Michel Henry, Levinas and Marc C. Tylor. In the final analysis, it is 'Life' itself that is to be the focus of theology. Key Words: l l Jalan ketiga Metafisika ketidakhadiran Skandal teologis l l l l l kenosis Re-veilation acere veritatem God without Being F l l l l I I dol kon Jejak Allah Hidup 23.3.2008 [437-458] 437 His father said to him: “Svetaketu, have you asked for that knowledge by which we hear the unhearable, by which we percieved the unperceivable, by which we know the unknowable?” … “Bring a fruit of that Nyagrodha tree.” “Here it is, sir.” “Break it” “It is broken, sir” “What do you see?” “Some seeds, extremely small, sir” “Break one of them” “It is broken, sir” “What do you see?” “Nothing, sir.” “The subtle essence you do not see, and in that is the whole of the Nyagrodha tree. Believe, my son, that that which is the subtle essence – in that have all things their existence. That is the truth. That is the Self. And that, Svetaketu, THAT ART THOU.”1 S esobek percakapan yang dijumput dari Upanishad di atas dengan kental menggambarkan sebuah perjalanan kesadaran pengetahuan manusia yang mencoba bercakap-cakap dengan realitas, yaitu bagaimana pengetahuan manusia bisa sampai pada realitas yang sesungguhnya, realitas yang absolut. Namun, dalam kacamata penulis, kisah di atas juga bisa dilihat 2 atau dibaca ulang sebagai sebuah perjalanan bahasa (teologis) dalam usahanya 'menangkap' realitas Allah, bahasa yang mengosongkan diri. Bila buah dari pohon Nyagrodha digambarkan sebagai konsep atau bahasa, yaitu semacam representasi realitas yang sesungguhnya, maka yang pertama kali dilakukan agaknya adalah mengambil sang buah, memegang bahasa– . Bila berhenti di sini, maka kisah ini berbicara tentang “Here it is, sir” bahasa katapatis, sebuah Teologi Positif, di mana bahasa dianggap bisa 3 menangkap dan merepresentasikan realitas, di sini sangat dimungkinkan terjadi proses predikatif atas apa yang telah ditangkapnya. Masalahnya, ternyata usaha ini tidak memadai untuk sampai pada intensi yang sesungguhnya. Maka yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mendekonstruksi bahasa katapatis yang ada itu – “ . Proses Break it” dekonstruksi ini tidak berhenti, ia adalah proses yang terus berlangsung. Bisa dikatakan bahwa proses ini adalah sebuah usaha untuk mengganti bahasa katapatis dengan bahasa apopatis. Pada ujung bahasa apopatis, 438 MELINTAS 23.3.2008 akhirnya, lahirlah ketiadaan – . Bila berhenti di sini, dalam “Nothing, sir” wilayah teologi, ini berarti sebuah Teologi Negatif, di mana segala usaha berbahasa manusia untuk sampai pada realitas ilahi adalah sia-sia, dan kalau pun hendak berbahasa, haruslah menggunakan bahasa yang menampik, yang non-predikatif.4 Namun kisah ini tidak berhenti di sini. Kisah ini, hendak berbicara tentang sebuah bahasa yang memiliki elegansa karena disertai kesadaran akan 'ada'nya sesuatu yang 'tidak hadir', - –, yang hendak “you do not see” dibahasakan melalui bahasa yang mencoba setia terhadap ketidakhadiran itu, sebuah absensia. Sebuah kesadaran yang tak memiliki pretensi untuk 'melihat yang tak terlihat', atau 'membiarkan tak terlihat', tetapi, menyadari bahwa 'tidak melihat pun juga sebuah penglihatan', atau dengan ungkapan lain yang lebih pas: manusia mampu 'mendengarkan yang tak terlihat'. Bila yang disebut sebagai 'paradigma' – demikian T. Kuhn – adalah keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik, dan sebagainya yang terdapat dan saling dibagikan dalam sebuah komunitas tertentu, terma “Paradigma Absensia” mau mengacu pada pengertian paradigma yang macam demikian. Ini berarti bahwa absensi menjadi sebuah paradigma; sebuah kepercayaan, nilai, teknik, atau apa pun yang menjadikan absensi sebagai salah satu cara berfikir yang terdapat dan dibagikan dalam sebuah komunitas tertentu, dalam hal ini teologi. Maka, kata Teologi Absensia, mau mengacu pada metode berteologi yang menggunakan paradigma absensia. Paradigma ini tentu saja bukan hal yang baru. Para pemikir yang memiliki perhatian yang sungguh di bidang teologi dan filsafat sudah mencapai titik ini, hanya saja mereka belum menemukan sebuah istilah yang memadai untuk paradigma ini, sebuah paradigma yang akan menghantar manusia tidak saja sekedar berkata-kata Allah, namun, berbincang tentang dengan Allah. Sekedar contoh dari beberapa teolog dan filosof yang telah sampai pada paradigma ini akan sekilas penulis paparkan. Psedo-Dionysius membentangkan “jalan ketiga” dalam berteologi yang persis menggamit serentak menampik gaya berteologi apopatik dan katapatik. Menurutnya, 5 baik apopatik (negatif) maupun katapatik (affirmatif) adalah sama-sama penting namun juga serentak sama-sama tidak penting, dimana yang satu tidak bisa lebih unggul daripada yang lain. Katapatik tanpa apopatik akan mereduksi Allah ke dalam imaji-imaji manusia sendiri mengenai Allah dan lantas lahirlah (pemberhalaan). Apopatik tanpa katapatik pun hanya idolatry akan menghantar manusia pada kekosongan, pada keyakinan bahwa tidak ada satupun yang mampu untuk membahasakan pengalaman akan Allah, dan di ujungnya lahirlah agnostisisme ataupun atheisme. Keduanya 6 haruslah diperlakukan secara dialektik, dimana katapatik akan memberikan Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran 439 dasar affirmatif mengenai Allah dan apopatik mengambil peran sebagai pengoreksi dan pemberi pemahaman ulang sejauh mana segala affirmasi itu memang sungguh-sungguh mengacu pada Allah dan bukan pada imaji manusia sendiri. Dialektika inilah yang melahirkan “jalan ketiga”. Pada “jalan ketiga” ini, perkara Allah bukanlah lagi perkara affirmasi atau negasi, benar atau salah, katapatik atau apopatik, singkatnya jalan ini bukanlah wacana predikatif yang senantiasa berkata-kata Allah, melainkan tentang sebuah penggunaan bahasa yang pragmatis, yang mencoba berbicara dengan Allah. Pada jalan ini yang tersisa hanyalah pujian kepada Allah, karena Allah tidak akan pernah bisa diketahui ( ) juga tidak akan pernah bisa unknowable dimengerti ( ); Allah adalah yang “tak dikenal” ( ), incomprehensible unknown bukan karena Ia memiliki , namun justru karena kekurangan kepenuhan ( ) atau Nya ( ) melampaui segala konseptualitas dan fullness kelebihan excess predikasi yang dapat dibuat manusia. Di hadapan Allah yang “tak dikenal” 7 ini, manusia tidak mampu untuk menyebut nama, namun manusia masih mampu untuk memanggil ( ) lewat puji-pujian. call 8 Meister Eckhart pernah juga mencoba untuk mentengarai perbedaan antara apopatik dan katapatik. Bagi Eckhart, Allah adalah ( unum Absolute Unity, Kesatuan Mutlak), yang serentak imanen maupun transenden berkenaan dengan ciptaanNya. Maksudnya, Allah memiliki karakter yang keunikannya demikian absolut absolutely distinguishing characteristic ( ) yang tiada lain justru adalah ( ketidakmungkinanNya untuk dibedakan his inability to be distinguished). Dalam artian inilah lantas bisa dipahami bahwa Allah serentak 9 terpisah ( ) dan tak terpisah ( ) dari ciptaanNya, dan semakin distinct indistinct distinct indistinct Allah dari manusia semakin pula Ia dari manusia, juga sebaliknya. Argumentasi ini memampukan Eckhart untuk melampaui segala wacana positif dan negatif mengenai Allah karena dengan argumentasi yang demikian Eckhart memahami bahwa Allah itu transenden terhadap ciptaanNya justru Allah imanen dalam ciptaannya. karena 10 Meskipun tidak menciptakan sebuah istilah baru untuk paradigma absensia ini, Jacques Derrida telah juga mencoba untuk melampaui persoalan mengenai Teologi Apopatik dan Teologi Katapatik, dengan mengulang istilah 'Teologi Negatif' namun secara berbeda. Menurut 11 Derrida, saat Teologi Negatif dibaca secara berbeda, maka teologi tidak lagi menjadi persoalan atau perdebatan mengenai yang positif atau negatif, yang affirmatif atau negatif, ada atau tidak ada, melainkan menjadi sebuah usaha dekonstruksi teologis yang memiliki keterbukaan tak terbatas pada segala kemungkinan masa depan yang tak bisa diprediksi, bahkan keterbukaan terhadap sesuatu yang sungguh-sungguh berbeda. Derrida menambahkan bahwa dengan Teologi Negatif yang diulangi secara berbeda ini, teologi 440 MELINTAS 23.3.2008 mampu untuk mengukuhkan sikap yang sangat dibutuhkan setiap insan pada masa sekarang ini: hospitalitas.12 Contoh-contoh di atas menggambarkan secara sekilas bahwa memang paradigma absensia bukanlah sebuah hal yang baru dalam usaha manusia berteologi, namun di sisi lain, kita juga bisa memahami bahwa paradigma absensia adalah sebuah kerinduan purba yang tak lekang oleh waktu. Mungkin inilah saatnya untuk semakin menyadari pentingnya paradigma absensia dalam usaha kita berteologi. Artikel ini mencoba untuk menghadirkan secara lebih khusus paradigma absensia untuk mendekati realitas yang ilahi, kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dihadirkan melalui paradigma absensia. Ini adalah sebuah tawaran atau sebuah undangan untuk masuk berkubang dalam permasalah absensi dalam teologi. Absensia : Skandal dan Sensualitasnya Hukum rasionalitas manusia mengharuskan manusia untuk menciptakan dan meyakini bahasa yang secara horisontal memiliki koherensi logis-konseptual, serentak secara vertikal memiliki korespondensi empiris antara subyek dan obyek. Dari hukum yang macam ini, jelaslah yang dituntut adalah : sebuah kepastian yang tak wagu dan – kata Descartes – tak ragu. Kepastian ( ) adalah istilah yang sangat tepat certainty menggambarkan tuntutan dan ruang gerak epistemologi ilmu-ilmu modern manusia.13 Sebagaimana telah dipaparkan di atas, pola yang demikian ini sesungguhnya mengandaikan sebuah metafisika tertentu, yang dirumuskan sebagai “Metafisika Kehadiran” ( ), sebuah keyakinan Methaphysics of Presence akan kehadiran “sesuatu” di dalam realitas dan bahasa manusia. Bahkan yang disebut sesuatu itu tidak bisa tidak pastilah sebuah substansi, entah itu di luar atau pun di dalam subyek. Dengan keyakinan akan hadirnya sebuah substansi dalam sesuatu, maka bahasa memiliki tendensi untuk menjemput serta menangkap substansi itu, lantas kemudian dihadirkan kembali melalui bahasa.14 Kini, dalam pemikiran kontemporer, kita tahu bahwa pemahaman yang demikian tidak membawa manusia ke mana pun, bahkan menghantar manusia untuk mengubur realitas dan dirinya sendiri, karena manusia terbelenggu oleh konstruksi yang dibuatnya sendiri. Manusia mulai melirik 15 pelbagai kemungkinan yang bisa memberikan kebebasan, salah satunya adalah mendengarkan suara dari luar kriteria yang ada, di luar ruang logis yang konvensional. Ketika rasionalitas telah mengerut menjadi kriteria berbahasa, maka itu semua lantas berarti memberi tempat pada 441 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran 'irrasionalitas' yang disadari. Apa yang diandaikan dalam irrasionalitas itu persis bertolak belakang: sebuah metafisika yang memberi tempat pada ketidak-hadiran (Metaphysics of Absence). Tidak ada lagi suatu substansi, yang ada adalah relasi dan adaptasi yang tiada henti. Ini memang bagai 'skandal' bagi rasionalitas manusia, karena rasionalitas yang awalnya dianggap demikian meyakinkan dan pasti ternyata mesti tersandung-sandung realitas dan pengalaman yang demikian kaya, berhadapan dengan begitu banyak anomali. Situasi ini akhirnya serentak menjadi semacam tuntutan untuk merumuskan ulang rasionalitas itu sendiri. Namun ini merupakan momentum kearifan juga, 16 karena dari sana tampillah peluang untuk menampung segala ketidakpastian dan kegamangan. Di sini lantas bahasa diturunkan dari kedudukannya 17 sebagai cerminan rasionalitas ( ) manusia. Bahasa menjadi sebuah Logos medan yang tak pernah selesai mencerna dan mencairkan apa yang mungkin ditangkapnya, termasuk didalamnya irrasionalitas, ambiguitas, paradoks dan hal-hal yang memang tidak mudah ditangkap dan dibahasakan. Singkatnya, bahasa dikembalikan kepada hidup itu sendiri, pada pengalaman hidup manusia yang elusif dan senantiasa bergerak. Apa yang terjadi dalam wilayah teologi bila masuk ke dalam paradigma absensia adalah jelas: sebuah 'skandal' teologis, sebab teologi seolah menjadi sesuatu yang 'irrasional', yang membutuhkan klarifikasi dengan kategorikategori yang sangat berbeda dari apa yang selama ini dipakai. Paradigma berteologi macam ini dapat menjadi batu sandungan bagi segala langkah teologi yang mungkin telah mapan. Itu di satu sisi. Di sisi lain, paradigma absensia mungkin justru mampu menghantar manusia masuk lebih dalam ke dasar hidup itu sendiri, yang justru, karena sedemikian kaya dan luas, memang ditandai berbagai persilangan paradoks, ambiguitas, dan aneka sisi yang bertegangan. Kehidupan yang senantiasa mengandung 'skandal' itulah yang akhirnya menuntut skandal metodis pula. Paradigma absensia akan menghantar manusia pada apa yang saat ini disebut dengan 'jalan heuristik' ( ). Jalan ini merupakan sebuah heurestic way 18 cara berfikir yang membetot aturan-aturan baku sebuah ilmu hingga ke titik-titik yang paling radikal sehingga, lewat segala tegangan yang tercipta, menyeruaklah kemungkinan yang awalnya tak tampak, kemungkinan untuk menjangkau realitas yang lebih besar. Fenomena “ ” Theological Turn (pembalikan teologis) di Perancis adalah contoh bagus tentang hal itu . Dalam fenomena ini, para pemikir Perancis macam Paul Ricoeur, René Girard, Emmanuel Levinas, Michel Henry, Derrida, Lyotard, Jean-Luc Marion, Jean-Yves Lacoste, mencoba untuk 'melanggar batas' disiplin ilmu yang mereka geluti (filsafat, khususnya fenomenologi). Mereka tidak lagi 442 MELINTAS 23.3.2008 berkutat pada persoalan-persoalan fenomenologi filosofis sebagaimana yang biasa dilakukan, namun mencoba untuk memberikan ruang pada ideide teologis dalam pemikiran mereka. Di ujung pemikiran-pemikiran mereka, kita mendapati bahwa ternyata Allah masih memiliki ruang di sebuah dunia yang digerus sekularisme dan atheisme. Dengan demikian 19 teologi menjadi sebuah daya yang kreatif, yang terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, sisi-sisi yang selama ini tidak diperhitungkan, dan pada akhirnya ini berarti sangat dimungkinkan ditemukannya kebenaran-kebenaran baru, yang mungkin selama ini tidak pernah diperhatikan namun justru paling dirindukan. Teologi dengan paradigma absensi, atau teologi absensia, dengan demikian mengandung sensualitas, karena di dalamnya segala gairah yang meletup di dalam hidup manusia tertampung dan dibiarkan mengalir, bersentuhan dengan manusia apa adanya. Melalui paradigma absensia, bahasa teologi diajak untuk mencicipi apa yang selama ini enggan untuk dicicipi; untuk melihat kemungkinan bahwa segala dikotomi dan polaritas produk rasionalitas dan bahasa manusia macam 'ada' dan 'tiada', 'surga' dan 'neraka', 'putih' dan 'hitam', jangan-jangan hanyalah perbedaan semantik yang arbitrer.20 Menjelajahi Keheningan Salah satu penyebab krisis kontemporer dalam teologi adalah fideisme sebagai bentuk perlawanan yang gigih terhadap setiap bentuk “Teologi Natural”. Krisis tersebut ditandai dengan meningkatnya kesadaran, baik 21 secara teoritis maupun praktis, bahwa kita tidak memiliki pengetahuan yang real tentang Allah, dan setiap konsep tentang Allah yang disodorkan pada kenyataannya cenderung menyangkal transendensi Allah. Akibatnya, setiap konsep mengenai Allah dimarjinalisasi, dianggap abstraksi yang tidak mengguratkan sesuatu pun. Heidegger menangkap situasi ini, maka tidak 22 mengherankan jika ia menandaskan bahwa teologi terlalu di harubiru paradigma metafisika-kehadiran sehingga yang ada bukanlah teologi, namun onto-teologi, yaitu situasi dimana teologi tidak pernah bisa beranjak lebih jauh lagi, keluar dari dirinya sendiri, terkungkung penjara metafisikakehadiran. Inilah saat di mana manusia memasuki jaman , the loss of the gods sebuah pengalaman historis dimana segala usaha berteologi adalah sebuah kesia-siaan karena setiap usaha macam itu akan senantiasa berarti serentak too late too soon dan . Akhirnya, menurut Heidegger, manusia tidak lagi bisa menatap aktivitas Allah di dalam dunia, manusia hanya bisa merasakan secara subyektif kehadiran Allah di dalam interioritas hatinya.23 443 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran Namun kita tidak berhenti di sini. Sebagaimana telah disinggung di atas, manusia adalah mahluk yang essensinya eksis dengan cara memahami dan pemahaman-diri, maka manusia hanya dapat berbicara secara bermakna mengenai Allah jika segala affirmasi ini secara batiniah bertautan dengan pemahaman akan dirinya sendiri. Adalah tidak mungkin untuk memformulasi pernyataan apa pun mengenai Allah yang pada saat yang sama bukan sesuatu yang juga bermakna bagi manusia itu sendiri, atau pernyataan mengenai manusia yang tidak mengatakan sesuatu pun yang bermakna mengenai Allah. Ini berarti 24 bahwa sesaat setelah historisitas pengalaman eksistensial manusia diletakan dalam kerangka refleksi, kita menyadari bahwa bahasa kita mengenai Allah harus bertumbuh dan berubah bersamaan dengan perkembangan pengalaman eksistensial kita. Bila tidak demikian maka, setiap bahasa kita mengenai Allah akan menjadi tidak relevan, tak berarti, dan kosong.25 Lebih lanjut ini berarti bahwa Teologi tidak dapat didefinisikan sebagai relasi eksklusif dengan Allah semata. Teologi hanya dapat didefinisikan dengan sebuah cara yang spesifik, yang mentransendesikan dirinya sendiri, yang mendekati totalitas kenyataan dan membantu merealisasikan totalitas ini dalam kehadiran Allah yang aktif, sebab terkandung dalam kesegeraan absolut, yang tidak pernah tunduk kepada kehendak manusia. Inilah yang 26 menjadi aspek otentik yang dapat dimurnikan selalu menjadi cara baru berbicara tentang Allah pada jaman kontemporer ini – yang menurut Schillebeeckx – sebuah jalan yang membiarkan Allah keheningan menemukan ekspresi di dalam karya nyata kita untuk kesejahteraan saudarasaudara kita.27 Hening akan Allah ini – yang berarti semata-mata membiarkan Allah menghadirkan diri dalam relasi manusia dan karya-karya manusia di dalam dunia – bisa berarti berbicara jauh lebih keras daripada kata-kata yang tidak memiliki relevansi yang sesungguhnya paling penting di dalam hidup manusia. Hening yang demikian bisa menjadi sumber hidup dari segala harapan kita.28 Setiap upaya teologi dalam membahasakan Allah dalam kerangka absensi selalu merupakan sebuah perjalanan reflektif yang hening dari siapa pun yang memiliki kepedulian pada permasalahan ini, dan karenanya menuntut jerih payah tersendiri, laku yang tak tawar dan bisa panjang, bahkan mungkin bisa melibatkan hal-hal yang musykil. Teologi Absensia 29 adalah sebuah penjelajahan bahasa dalam keheningan yang rinai, yang menciptakan sebuah ruang refleksi: sebuah jeda bagi manusia-manusia kontemporer yang linglung dan bingung untuk merefleksikan dan mengucapkan apa yang selama ini mungkin telah hilang. Sebuah penyibakan 444 MELINTAS 23.3.2008 ingatan yang rimbun tentang yang sepele tapi konkret, yakni tentang pilihan bebas manusia untuk “mungkin” memiliki cinta: sebuah kenosis (pengorbanan) yang tidak masuk akal, kesetiaan yang kerap diselingi ragu, gundah, dan kadang juga labil. Dengan ruang refleksi yang mampu dihadirkan oleh teologi absensia, terbentanglah sebuah “suasana” hening, dan manusia menjelajah di dalamnya. Dengan ini manusia tidak akan kehilangan keseriusan eksistensialnya, karena ruang refleksi ini membawa fungsi katarsisnya sendiri : mengikis dan membersihkan identitas spiritual manusia. Paradigma absensia memberikan sebuah ruang bagi 'teologi' 30 untuk, meminjam Carl A. Raschke, memekar menjadi 'dialogi' ( ). dialogy 31 Di akhir penjelajahan keheningan ini, melalui teologi, manusia ditawari pilihan: atau menerima atau menolak kenyataan bahwa eksistensi manusia adalah sebuah yang tidak dapat dijelaskan dalam terang janji keselamatan Being kongkret manusia. Bila teologi hendak memberikan komitmennya yang 32 terdalam terhadap dunia, itu berarti teologi harus mampu menghantar manusia modern untuk menerima Allah sebagai yang ultim.33 Kenosis : Ego yang Menyenggang34 Peradaban manusia pernah dan masih menjadikan ego sebagai titik gravitasi kehidupan. Ini adalah sisa-sisa yang tertinggal dari harapan dan mimpi kaum modernis. Ego adalah titik berangkat dan titik akhir segalagalanya. Di dalamnya yang ditekankan adalah otonomi individu yang disertai rasa percaya diri yang berlebihan kepada rasionalitas. Dengan nuansa yang egologis macam ini tidak mengherankan jika tidak ada tempat yang cukup untuk menampung segala dimensi yang supranatural dan suprahuman. Segala aspek misterius, transenden, dan dinamis dari segala 35 pertautan manusia dengan pengalaman persentuhannya dengan sesuatu yang sungguh lain ( ) semata-mata dipahami dari sudut the wholly other psikologis atau pun seni. Imaji-imaji klasik tersisih, dan dibayangkan sebagai sisa-sisa mentalitas pra-modern yang kekanak-kanakan. Psikologi dan seni menjadi wilayah yang mengartikulasikan spiritualitas individu modern, dan teologi mundur ke belakang menjadi semacam mistifikasi esoteris dari bahasa yang tak pernah dimengerti dan enggan dimengerti atau malah sebaliknya, menjadi semacam kemungkinan mencari nafkah dengan cara menjual nama Allah secara murahan, yang tak jarang menumpahkan darah dan amarah. Di penghujung egologi macam ini, manusia sendirilah yang terancam: terjangkiti semacam penyakit disorientasi hidup dan kekosongan batin yang parah. 445 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran Bila teologi hendak membahasakan diri di jaman kontemporer dengan lebih relevan dan bermakna serta menghantar manusia kepada Allah yang transenden maka teologi haruslah memiliki kemampuan untuk tersadar dalam tegangan – meminjam Mark C. Tylor – antara dan revelation reveilation36, sehingga tersingkaplah kembali selalu segala apa yang selama ini begitu melilit ego manusia. Dengan demikian teologi menjadi wacana tentang potensialitas pengartikulasian tanpa akhir sang Maha Lain yang senantiasa mengelak diberi nama. Kendati secara historis selalu ada kecenderungan pergeseran dari (pewahyuan) ke revelation re-veilation (pengerudungan), ruang refleksi mesti memungkinkan kembali gerak sebaliknya setiap kali : dari pengerudungan ke pewahyuan atau penyingkapan kembali. Gerakan terbalik demikian, membuat segala refleksi teologi tidak terjebak dalam permenungan yang sekedar permainan pantulan konseptual atau pun intertekstual ( ) yang berputar di dalam reflection atau tersesat di luar, melainkan sebuah usaha pelenturan kembali ( ) re-flexivity segala apa yang telah kaku dan beku.37 Menurut Tylor, segala pergerakan/pergeseran di atas seharusnya bertujuan “membongkar kedok” fiksional dari segala apa yang kita percayai, termasuk juga ilusi keutuhan : “Salah satu karakter dari postmodernisme self adalah matinya ke-diri-an.” Dengan paradigma absensia, teologi dapat 38 menjadi sebuah “aliran yang tak pernah berhenti”, gerak yang terus menerus men-transendensi diri. Melalui paradigma absensia, teologi lantas berarti inkarnasi dari “Kenosis segala kehadiran diri yang absolut”. Inkarnasi macam ini menampilkan sebuah permainan tanpa henti, permainan “penyaliban kata” dimana aktivitas penundaan, dekonstruksi, atau penghapusan, analog dengan pengalaman salib: sebuah gerak pengosongan diri, dari menuju . Di sini kata atau segala selfishness selflessness bahasa yang berasal dari hasrat manusia dilihat sebagai proses egologi penopengan diri. Sebuah proses yang cenderung menjerat manusia dalam matarantai pengelabuan tanpa akhir.39 Labirin Berujung Cinta Berujung dimanakah labirin ini? Atau apakah memang ada yang pantas disebut 'ujung', bila apa yang disebut labirin saja menampik apa yang disebut 'awal' atau 'tengah'? Tetap harus ada sebuah keputusan, sebuah ujung yang bukan ujung, ujung yang berarti awal, tengah yang berarti tepi. Karena bila tidak demikian, teologi akan sampai pada penyakit disorientasi dan tanpa kebermaknaan di ekstrem yang lain. 446 MELINTAS 23.3.2008 Bagaimana menganalogikan teologi absensia ini dalam bentuk yang real? Analogi yang terbaik, yang memuat unsur kenosis dan absensi, adalah cinta dan ke- -an ( ). Berikut akan dijelaskan mengapa dua hal tanpa withoutness tersebut bisa dianggap mewakili paradigma absensia. Mungkin tidak ada sebuah kata yang dalam sepanjang perjalanan sejarah kesadaran manusia sedemikian abadi, selain cinta. Karena di dalam terma itu ada gumpalan misteri, yang mendorong dan merongrong hidup manusia selalu tanpa henti. Cinta tetap merupakan sesuatu yang tak terjelaskan, dan senantiasa mengundang interpretasi. Saat ini memang 40 harus diakui bahwa terma itu telah sedemikian diinterpretasikan sebagai melulu bersifat fisik dan seksual, yaitu bercinta. Namun sesungguhnya, 41 bila cinta dibongkar aspek-aspek badaniahnya, kita bisa sampai pada sebentuk jiwa yang mampu menganalogikan Allah. Menurut Marion, ada dua ciri dari sesuatu yang dapat disebut sebagai cinta. , cinta itu selalu Pertama berarti pemberian diri ( ). Dan pemberian diri itu adalah satu arah: gives itself 42 tanpa memandang apakah si penerima ( ) layak atau tidak interlocutor menerimanya, sanggup atau tidak. Singkatnya, cinta adalah pemberian diri yang tanpa syarat, tanpa batas, dan tanpa menunggu kesiapan dari si penerima. , adalah hanya cinta (sebagai sebuah konsep), yang 43 Kedua memiliki kekuatan performatif, yaitu memiliki potensi untuk menggerakan, mengubah, mencairkan kebekuan, dan untuk berbuat sesuatu yang lebih daripada cinta itu sendiri (sebagai konsep).44 Paradigma absensia adalah paradigma cinta; bahasa absensia adalah bahasa cinta, Allah dalam teologi absensia adalah Cinta. Walau pun cinta 45 bersifat tak bersyarat ( ), namun sesungguhnya ia memiliki satu unconditional tuntuntan: pengosongan diri, karena hanya dengan pengosongan diri itu cinta dimungkinkan. Cinta tanpa pengosongan diri adalah – meminjam Caputto – bualan kosong, rayuan gombal yang hanya layak diucapkan oleh mereka yang kesepian. Oleh karena itu cinta memang berurusan dengan ketidakmungkinan, batas-batas eksistensial yang absolut dan dengan cinta manusia didorong sampai pada batas-batas yang mungkin, sepenuhnya berkembang melampaui kemampuan kita, melampaui kekuatan kehendak kita, didorong sampai pada titik di mana hanya gairah iman, harapan dan cinta sendirilah yang menyala-nyala. Dan hanya satu kriteria untuk menilai 45 kebenaran cinta, yaitu dengan apa yang disebut oleh Agustinus sebagai “ ”, “membuat” atau “melakukan” kebenaran. Secara lebih facere veritatem jelas dapat dikatakan cinta adalah perkara tindakan/perbuatan. Pada 46 akhirnya, cinta akan menggiring manusia pada tindakan tulus untuk terbuka terhadap yang lain, yang asing, yang berbeda; cinta memampukan teologi 447 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran untuk mendorong manusia untuk mampu dan berani berkata – meminjam istilah Michel de Certeau – . 'yes, in the foreign land' 48 Terma lain, yang cukup dapat mencerminkan paradigma ini adalah kata “tanpa” ( ), sebuah kata yang persis berada di tengah antara with_out “adalah” ( ) dan “bukan” ( ). Karena ia ada di tengah, maka ia bukanlah is is not is is not out without dan juga bukan : inilah aspek ' ' dari kata ' '. Tetapi ia serentak 49 adalah rangkulan mesra diantara keduanya : inilah aspek dari kata with ' '. Meskipun Marion sendiri tidak menggunakan algoritma kata without macam ini secara eksplisit, namun sesungguhnya ini sebuah permainan bahasa yang mampu mencerminkan paradigma absensia. Misalnya: “God 50 is Being” adalah pernyataan affirmatif; sedangkan pernyataan “God is not Being” adalah pernyataan negatif; sedangkan “God Being”, mau without merangkul kedua arti pernyataan itu, serentak menampik kedua pernyatan sebelumnya. Dalam buku Marion sendiri, pernyataan terakhir itu diungkapkan sebagai yang disilang, God. Baik kata “God” mau pun God 51 “silang”, keduanya harus tetap dicatat/tertulis, karena kedua-duanya penting, namun serentak tidak penting. Dengan kata “tanpa” suatu konsep tidak akan pernah membeku dan menjadi – meminjam Marion –, karena idol dengan demikian kita selalu diingatkan akan adanya kemungkinan lain, diingatkan bahwa selalu ada unsur fiktif dalam konsep-konsep yang kita pegang, bahwa selalu ada realitas lebih jauh di baliknya yang harus dikejar. Teologi mudah terperangkap dalam 'idol'. Yang diperlukan adalah 'ikon'. Idol membekukan realitas, ikon menyingkapkan, mewahyukan, namun serentak tetap membiarkan yang terwahyukan tersebut sebagai misteri yang tak tertembus. Contoh bagus ikon adalah Yesus Kristus – eikōn tou theou aoratou. Yesus Kristus mewahyukan Allah, bahkan 52 dengan melihat Dia kita melihat Allah, namun, Ia tetap menampilkan sisi misterius Allah juga. Dalam Yesus Allah tetaplah Allah yang ganjil, tak lazim, tak terpermanai, sulit dimengerti. Mencintai Misteri Teologi absensia menggiring manusia pada : possibility of the impossibility bahwa Allah tetaplah misteri, dan kita diundang untuk mencintai misteri ini. Kita mencintai misteri tidak dengan 'mengerti' atau 'memahami', namun 'mengenal' dengan 'menarikannya'. Bila dikatakan bahwa Allah adalah 53 misteri (padahal jelas bahwa Allah mewahyukan diri pada partikularitas sejarah manusia) itu mau menegaskan bahwa misteri bukan soal Allah, tetapi soal manusia, soal keterbatasan manusia (terutama rasionalitas dan bahasanya).54 448 MELINTAS 23.3.2008 Keterbatasan manusia ini menciptakan penderitaan batin tersendiri bagi manusia yang bersikukuh mencari jawab, karena seolah-olah Allah adalah Dewa Janus, dewa berwajah dua: Allah yang dimengerti (secara kognitif) versus Allah yang dialami (secara afektif). Allah yang bernegosiasi dengan Musa dengan Allah yang muncul dalam mimpi dan berkelahi dengan Yakub dan tak mengijinkan diriNya diberi nama. Allah yang transenden dan Allah yang imanen; yang personal dan yang impersonal; yang bisa diajak bicara dan yang hadir dalam musik dan mantra. Allah yang ditemui dalam sesama di keramaian dan Allah yang hadir dalam samadi di sudut sunyi. Dan justru di situlah misteri Allah, bahwa Ia dialami sebagai real, namun tak dapat ditangkap. Misteri, karena kepenuhan realitas ilahi 55 tak pernah secara tuntas bisa ditangkap oleh manusia, juga tidak di dalam kepenuhan eskatologis; namun serentak semua itu mengandaikan adanya komunikasi Allah yang real dengan manusia.56 Dengan paradigma absensia, teologi niscaya mampu mentransendensikan keterbatasan manusia justru melalui cara yang imanen, melalui cara yang sangat mungkin dilakukan manusia: mencintai. Teologi absensia mengundang manusia untuk mencintai misteri ilahi, dalam doa yang merangkul segala elusivitas, ambiguitas dan kontradiksi, dalam keheningan yang tak kuasa mengungkapkan sepatah kata pun; dalam doa yang tidak 57 menyebut dan memperkatakan nama Allah, namun memanggilNya ( , call vocation).58 Sejalan dengan ini, Emmanuel Levinas memberikan jembatan bagi teologi untuk menghantar manusia sampai pada rasa cinta terhadap misteri, karena bagi Levinas teologi hanya mungkin untuk diterima jika teologi mampu untuk menghadirkan wacana yang secara konstan mengkritisi, menkoreksi bahkan membatalkan dirinya sendiri. Levinas memberikan 59 alasan yang sederhana: karena Allah adalah yang misteri, mencintai Allah adalah mencintai misteri itu sendiri. Beranjak dari situasi etis manusia saat berjumpa, berkonfrontasi, dan berdialog dengan sesamanya, manusia bisa menyadari adanya pihak ketiga yang selalu hadir namun telah “berlalu” ( ), yaitu Allah, atau “jejak” Allah dalam diri sesama. “Jejak” passed by absolutely ini akan menghantar manusia pada struktur relasi non-resiprokal kepada sesamanya. Struktur inilah yang bisa disebut sebagai situasi cinta. 50 61 Di sisi lain, dengan konsep ini, Levinas mengingatkan bahwa Allah tetaplah bukan sebuah fenomena yang tampak dihadapan manusia, hadir di depan wajah manusia, yang bisa diobservasi, dirumuskan, atau ditematisasikan. Singkatnya, Allah tetaplah misteri. Namun, dihadapan 62 misteri itu dimungkinkan tercipta rasa “takjub” ( ) – sebuah situasi wonder 449 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran yang menampik hasrat untuk mengeksplorasi sesuatu sebagai informasi, sebagai pengetahuan, atau menampik kontrol – yang bisa menenggelamkan manusia ke dasar misteri, bersentuhan secara lebih intim dalam relasi dengan misteri itu sendiri. Rasa takjub ini tidaklah menuntut pengetahuan 63 logis, jawaban atas segala tanya; namun sebuah ajakan untuk terus menerus mencari dan menghasrati . Allah yang misteri adalah Allah yang menuntut 64 “semangat keterbukaan budi yang total”.65 Bila Emmanuel Levinas bertolak dari situasi etis untuk sampai pada cinta akan Allah yang misteri, yang meski tak bisa dijumpai secara langsung namun kita mampu untuk merasakan jejakNya dalam perjumpaan dengan sesama, Michel Henry (1922 – 2002) menyarankan sesuatu yang jauh lebih radikal. Sebagai seorang fenomenolog, Henry meyakini bahwa dengan “fenomenologi radikal” kita bisa mendekati Allah. Bagi Henry, setelah 66 menemukan bahwa fenomenologi pada hakekatnya adalah semacam proses pewahyuan , maka Allah adalah Hidup itu sendiri. Karenanya, pencarian 67 akan Allah sesungguhnya berarti pencarian akan sesuatu yang telah selalu ditemukan namun senantiasa dilupakan. Di sini, Henry mengajak orang untuk menyadari Allah sebagai Hidup dari hidup kita sendiri. Dengan 68 memahami Allah sebagai Hidup, Henry menampilkan kembali kesempatan yang selalu hadir, namun senantiasa luput, untuk menjumpai Allah: bahwa perkara teologi adalah perkara ( ) hidup itu sendiri. pengalaman experience Mencandrai pengalaman macam ini, hanya dimungkinkan melalui pasi ( , : gairah, jerih- payah ). Di dalam pasi tiada subyek atau pathos passion 69 obyek karena pasi merupakan manifestasi-diri yang paling murni. Sebagaimana hidup, pasi tidak pernah bisa direduksi. Kita hanya bisa membandingkan pasi dengan pasi itu sendiri: pasi tidak akan pernah bisa direpresentasikan, dan karenanya kita (manusia) tidak akan pernah 'memiliki' pasi, namun kita 'adalah' pasi itu sendiri.70 Pemikiran Michel Henry di atas membuka kesadaran bagi teologi bahwa berteologi berarti perkara gerak kembali kepada hidup itu sendiri, yang terbentang luas dengan segala paradoks, ambiguitas, tegangan, atau ketidakmungkinan; hidup dengan segala misterinya. Singkatnya, teologi adalah sebuah panggilan untuk kembali mencintai hidup, dan itu berarti memiliki pasi kepada Allah yang misteri. C a t a t a n : 1. Dikutip dari “Thou Art That”, dari Upanisad dalam Carl Levenson & Jonathan Westphal (ed), , (Hackett Publishing Company: Reality Indianapolis, 1994), hlm. 1-4 2. Sebagaimana yang ditulis dalam kata pengantar buku , umumnya Reality 450 MELINTAS 23.3.2008 kisah di atas ditafsirkan melalui kecamata filsafat India mengenai Brahman (Realitas Absolut), bahwa pada akhirnya apa yang disebut sebagai realitas yang sejati adalah Brahman, atau berdasarkan teks itu sendiri, kekosongan ( ). ., vii. nothingness Ibid 4. Dalam hal ini, meski pun dapat dibedakan, mengacu pada Teologi Natural, sebuah cabang teologi yang menyangkut pengetahuan akan Allah yang diperoleh melalui budi saja. Lih. O'Collins ., et al Kamus Teologi, hlm. 322 & 325 5. Pembahasan mengenai bahasa apopatik ada di bagian lain tulisan ini yang tidak dimuat di sini. 6. Bradley, Negative Theology and Modern French Philosophy, hlm. 14, 82 7. , hlm. 82 Ibid. 8. Ibid. 9. Caputo , , hlm. 41-42 et al. God, the Gift, and Postmodernisme Bradley, Negative Theology and Modern French Philosophy, hlm. 16 10. Ibid. 11. , hlm. 11 Ibid. 12. Menurut Derrida, ada tiga point penting berkaitan dengan Teologi Negatif yang dibaca secara berbeda, yaitu: [1] pada akhirnya Teologi Negatif mencirikan sebuah identitas tanpa-identitas, tidak pernah bisa dibatasi oleh spasialitas tradisi pemikiran manapun. Maka bisa saja dikatakan bahwa Teologi Negatif adalah contoh identitas yang paling baik justru inilah contoh yang paling buruk, yang paling layak karena karena paling tidak layak, paling tidak bisa tersubstitusi karena paling bisa tersubstitusi; [2] Teologi Negatif bukanlah perkara definition (definisi, pemahaman) namun (keputusan); [3] dan segala decision decision yang diambil tersebut selalu ada dalam wilayah tanpa dasar apa pun sehinggga secara permanen terbuka terhadap kemungkinan decision Ibid. selanjutnya. , 216-219 13. Carl Levenson & Jonathan Westphal (ed), , (Hackett Publishing Reality Company: Indianapolis, 1994), hlm. xi-xx. Bdk. Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, hlm. 50-58 14. 'Substansi', berasal dari bahasa Latin (bahan, hakekat, zat, isi); substantia dari (di bawah) dan (berdiri atau berada). Tidak mudah sub stare mendefinisikan secara pasti apa yang disebut dengan substansi, karena memang sejak awal istilah ini sudah mengacu pada banyak hal yang mirip sehingga sulit dipastikan secara tepat. Namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa substansi mengacu pada 'inti'/ 'hakekat' dari sesuatu. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa 'inti' tersebut dapat dibayangkan secara material sehingga dimungkinkan untuk dipahami 451 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran ditangkap. Lih. Bagus, , hlm. 1051-1052. Bdk. Hardiman, Kamus Filsafat Melampaui Positivisme dan Modernitas, hlm. 51 15. Lih. sub bab “Presensi dan Absensi” pada bab sebelumnya. 16. Misalnya, apa yang kini dipahami sebagai rasionalitas adalah “the continuous adaptation of our language to our continually expanding 'world' due to the dialogue.” Lih., Bambang, “Logos Without Substance: Wisdom as Seeing Through the Absence”, dalam , Vol. Dialogue and Universalisme XV, No. 1-2/2005, hlm. 157-164 17. Ibid. 18. Lih. Peter Jonkers, “God In France, Heidegger's Legacy” dalam Jongker ., , hlm. 2. Heuristik ini, misalnya, mencoba et all God in France untuk menggunakan ide-ide agama dalam menerangi persoalanpersoalan filosofis, atau sebaliknya. 19. Meskipun beberapa pemikir itu menggunakan fenomenologi Husserlian dalam berfilsafat namun mereka tidak sampai jatuh pada atheisme (sebagaimana Husserl), melainkan menarik fenomenologi ke titik yang paling radikal dan menggunakan ide-ide religius untuk berfilsafat. Emmanuel Levinas, misalnya, menggunakan ide-ide Perjanjian Lama untuk sampai pada “the other”. Jean-Luc Marion menggunakan konsep dalam kristianitas purba tentang “idol” dan “icon” untuk menerangi permasalahan teologi. 20. Derrida menandaskan perlunya bahasa sebagai sebuah “dinamisme asali” ( ). Dalam dinamisme asali ini setiap kata pada original dynamism akhirnya bisa dibebaskan dari segala ketersembunyian onto-theologi yang berlaku. Dengan demikian segala bentukan bahasa menjadi sebuah proses 'asali' atau sebuah proses yang 'telah ditetapkan' – dan pada akhirnya ini adalah sebuah proses yang menghapus setiap ide mengenai 'asli', 'awal', atau 'prinsip'. Lih. Rico Sneller, “God as War, Derrida On Divine Violance”, dalam Jongker ., , hlm. et all God in France 163-164 21. Schillebeeckx, , hlm. 73; 'Fideisme' adalah God the Future of Man kecenderungan untuk merendahkan peranan akal budi dalam menguji tuntutan keagamaan dan terlalu menekankan keputusan-bebas iman; sedangkan teologi natural persis kebalikan dari Fideisme. 22. , hlm. 70 Ibid. 23. Persoalannya adalah saat kehadiran Allah hanyalah perkara interiotas hati masing-masing manusia, teologi dan juga religiusitas kehilangan otentifikasi dirinya karena kita tidak lagi bisa menjadikan persoalan Allah menjadi persoalan yang terbuka, yang dialogis serta juga perlu disadari bahwa dalam interioritas yang sama itu juga tersimpan hasrat- 452 MELINTAS 23.3.2008 hasrat berbahaya manusia sendiri. Lih. Peter Jonkers, “God In France, Heidegger's Legacy” dalam Jongker ., , hlm. 22 et all God in France 24. Schillebeeckx, , hlm. 72 God the Future of Man. 25. Ibid. 26. , hlm. 82 Ibid. 27. Ibid. 28. , hlm. 82-83. Bdk. Bradley, Ibid. Negative Theology and Modern French Philosophy, hlm. 216-219, menjelaskan bahwa usulan Derrida mengenai Teologi Negatif yang dibaca secara berbeda berujung pada sebuah pendasaran hospitalitas yang radikal ( ), kongkretnya dalam hostipitality persoalan suaka, imigrasi, dsb. 29. Mungkin refleksi hening yang panjang dari teologi ini terlukiskan dalam kalimat terkenal George Saferis, pemenang Nobel Sastra tahun 1963 berikut: “untuk mengatakan apa yang ingin kau katakan, engkau harus melahirkan bahasa sendiri, dan menyusuinya bertahun-tahun dengan apa yang kau cinta, dengan segala yang telah menghilang darimu, dengan segala apa yang tak mungkin kau dapat kembali.” Atau dalam bahasa lainnya “pelanggaran” metodologis, sebuah hereustik. 30. Ide mengenai ini diambil dari “Menjelajah Keheningan: reflection space Salib Yesus dalam Film” yang ditulis oleh Haryo Tejo Bawono dalam Salib: Simbol Teror, Teror Simbol – Kajian Multidimensi, ed. Bambang Sugiharto & Harimanto Suryanugraha, (Bandung: SangKris, 2003), hlm. 127-134 31. Thiselton, , hlm. 123 New Horizon 32. Schillebeeckx, , hlm. 76 God the Future of Man 33. Ibid. 34. ide utama dalam sub bab ini diinspirasikan dari tulisan Bambang Sugiharto, “Salib: Lubang Hitam Spiritualitas”, dalam Salib: Simbol Teror, Teror Simbol – Kajian Multidimensi, ed. Bambang Sugiharto & Harimanto Suryanugraha, (Bandung: SangKris, 2003), hlm. 162-173 35. Maksud dari supernatural dan superhuman ini bukanlah dimensidimensi yang melebihi manusia dan kodratnya, namun dalam arti dimensi-dimensi diluar katagori-katagori natural dan manusiawi yang sebelumnya telah dirasionalisasikan dengan rasionalitas. 36. Thiselton, , hlm. 122. New Horizon 37. , hlm. 119 Ibid. 38. Ibid. 39. , hlm. 121-122 Ibid. 40. Jean-Luc Marion, , terj. Stephen Lewis, (New Prologomena to Charity York: Fordham University Press, 2002), hlm. 71 453 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran 41. hlm. 168 Ibid., 42. Marion, , hlm. 47 God Without Being 43. Bdk. John D. Caputo, , terj. Martin Agama Cinta, Agama Masa Depan Lukito Sinaga, (Bandung: Mizan, 2001), hlm 5-7: cinta adalah sebentuk pemberian yang sepenuhnya, suatu komitmen 'tanpa syarat', yang menandai cinta dengan semacam ekses tertentu. Untuk selanjutnya disingkat Caputo, . Bdk., Julia Kristeva, “In the Beginning Agama Cinta was Love”, dalam , ed. Graham The Postmodern God: A Theological Reader Ward, (Massachusetts: Blackwell Publisher, 1997), hlm. 224; selanjutnya disingkat The Postmodern God 44. Marion, , hlm. 48. Oleh karena itu, menurut Marion God Without Being cinta bukanlah idol, melainkan ikon. Yang membedakan antara idol dan ikon adalah jalan referensialitasnya, dimana idol tidak mereferensi ke realitas yang lain selain dirinya, “melihat adalah mengetahui”, sedangkan ikon memiliki referensi untuk beranjak ke realitas yang lain, bahkan yang diluar dirinya sendiri. Lih. Marion, , hlm. God Without Being 7-9, 17-18. Atau dengan menggunakan pengibaratan ini: idol adalah sebuah aktivitas bercermin, dimana yang terlihat di dalamnya tiada lain daripada diri kita sendiri, pengobyektifikasian diri; sedangkan ikon itu adalah sebuah aktivitas menatap cakrawala, dimana tiada proses pengobyektivikasian, yang ada adalah pengluasan penglihatan. Bagi Marion cinta adalah “fenomena penuh” ( ) karena saturated phenomenon cinta memiliki karakter surplus, sebuah karakter yang membuat cinta sulit untuk dipahami bukan karena kekurangannya namun justru karena kelebihannya. Lih. Ruud Welten, “The Paradox of God's Appearance, On Jean-Luc Marion”, dalam Jongker ., , et all God in France hlm. 191-192, 198-200 45. Caputo, , hlm. 7; Bdk., dengan penelusuran Kristeva dari Agama Cinta wilayah psikologi dan tafsir atas kata “Credo” yang berujung pada muara yang sama. Lih., Julia Kristeva, “In the Beginning was Love”, dalam , hlm. 223-226 The Postmodern God 46. , hlm. 10 Ibid. 47 , hlm. 140; Bdk. Marion, , hlm. 107; Bdk. Caputo Ibid. God Without Being et al. God, the Gift, and Postmodernism , , hlm. 3 48. Bradley, Negative Theology and Modern French Philosophy, hlm. 49 49. , 95-104 Ibid. 50. Dalam perdebatan dengan Derrida, berkaitan dengan teologi negatif, Marion menggunakan contoh yang diberikan oleh Dionysius untuk menggambarkan pelampauan afirmasi dan negasi sebagai berikut: 454 MELINTAS 23.3.2008 “God is essence” – affirmation! “God is not essence” – negation ( )!; abdicatio superessensialis “God is superessensial” ( ) – both affirmation and negation! One who asserts God to be superessensial ( ) does not say what he is, but what he is not, for he superessensialis declare he is not essence, but more than essence. Namun dalam contoh yang diberikan ini, sisi negativitasnya masih kental terasa. Lih. Caputo et al God, the Gift, and Postmodernisme, ., hlm. 28. Dalam artikel lain Derrida menyadari adanya nuansa negativitas tanpa negativitas dalam kata “without”, ini tercermin dengan jelas dalam ungkapan St. Agustinus (“God is wise wisdom, good goodness, without without powerfull power without ”) atau ungkapan St. Bernardus (“To Love God is a mode a mode without ”). Lih., Jacques Derrida, “How to Avoid Speaking”, dalam , hlm. 171 The Postmodern God 51. Model penyilangan ini bukanlah suatu hal yang baru. Bila mau ditelusuri ke belakang, ada dua tokoh yang mempengaruhi model penyilangan ini, yaitu Husserl dan Heidegger. Fenomenologi Husserl menggunakan 2 (dua) metode: , metode positif; yaitu metode pertama yang menekankan “kembali ke bendanya sendiri” ( ) zu den Sachen selbst untuk melepaskan pikiran dari hal-hal yang dianggap ideal, tetapi tidak menyentuh realitas. , metode negatif yaitu metode pertanyaan Kedua kualitatif terhadap berbagai obyek yang kekurangan pengandaian secara mutlak ( ). Mirip dengan skeptisisme Voraussetzungslosigkeit Descartes, tetapi lebih menekankan kualitas pertanyaan terhadap obyek. Dua metode ini kemudian terkait erat dengan metode “menyilang kata yang tak memadai” dari Heidegger. “Menyilang” sebuah kata berarti mereduksi kata dengan menempatkannya dalam tanda kurung ( ) atau memberi kata Einklammerung “X” pada kata yang mau ditunda. Hussrel menggunakan gaya ini dalam rangka mencapai obyek pengertian kata sesuai dengan aslinya dan sebersih-bersihnya. Einklammerung tidak bermakna menolak atau tidak menghargai, tetapi bermaksud menunda atau menangguhkan sementara suatu kata/obyek yang tidak memadai. Metode “menyilang kata” itu sering digunakan Heidegger karena ada kata yang dianggap tidak memadai dan belum dibutuhkan. Misalnya kata . Kata yang disilang itu Being dibiarkan saja terus hingga maknanya terhapus dan tidak lagi mengacu ke sesuatu atau ke seseorang yang sebelumnya telah mengendap di kepala. Sebetulnya, konsep “menyilang kata” atau dari Einklammerung Heidegger dan metode negatif serta positif dari Hussrel, di kemudian hari dipadukan oleh Derrida untuk merumuskan cara kerja . Différ nce a Intinya sama, yaitu bermaksud menunda atau menangguhkan 455 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran sementara suatu kata/obyek yang tidak memadai. Lih. Jacques Derrida, Off Spirit: Heidegger and the Question, terj. Firmansyah Agus, (Yogyakarta: Jalasutra, 2002), hlm. 48-50 52. Marion, , hlm. 23 God Without Being 53. Umumnya ada 2 jalan untuk bisa mengenal Allah: sebab ada (1) keterarahan fundamental manusia kepada Nan Mutlak; dan (2) ada aneka tradisi religius mengenai perjumpaan manusia dengan Allah. Namun meski tersedia jalan demikian, Allah tetap misteri. Lih Jacobs, Paham Allah, hlm. 269 54. , hlm. 270 Ibid. 55. Ibid. 56. , hlm. 271 Ibid. 57. Ibid. 58. Caputo ., hlm. 41-42 et al God, the Gift, and Postmodernisme, 59. Johan Goud, “This Extraordinary Word. Emmanuel Levinas on God” dalam Jongker ., , hlm. 115 et all God in France 60. , hlm. 114 Ibid. 61. Lihat pembahasan tetang cinta dalam sub bab “Labirin Berujung Cinta” dalam Bab ini 62. Ada ambiguitas di sini: “jejak” Allah menandakan ketidakhadiran mutlak: Allah adalah enigma yang menghancurkan segala permainan yang ada, yang tak pernah bisa ditangkap, ketidakhadiran yang tidak pernah bisa diketahui, tidak pernah bisa digauli secara langsung, GIF 114. Inilah mengapa Levinas mencirikan ambiguitas transendensi Allah, dan dengan ambiguitas inilah Allah hadir. Johan Goud, “This Extraordinary Word. Emmanuel Levinas on God” dalam Jongker et all God in France ., , hlm. 98 63. , hlm. 113 Ibid. 64. Ibid. 65. Disinilah titik temu antara konsep Allah dengan konsep cinta. Ibid. Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab “Labirin Berujung Cinta”, bahwa cinta memiliki ciri untuk memberi, terus menerus terus menerus terbuka. 66. Fenomenologi adalah nama untuk sebuah filsafat yang memiliki perhatian pada benda-benda yang tampak ( ), namun appearance of things Michel Henry tidak hanya memberikan perhatian pada benda-benda yang tampak melainkan juga pewahyuan ( ). Oleh karena itu revelation fenomenologi Henry tidak lagi berkonsentrasi pada benda-benda duniawi yang terlihat, tapi pada kesatuan dengan Allah (yaitu wahyu), sesuatu yang tetap tak terlihat dari sudut pandang dunia. Lih. Ruud 456 MELINTAS 23.3.2008 Welten, “God Is Life, On Michel Henry's Arch-Christianity”, dalam Jongker ., , hlm. 119-122 et all God in France 67. Menurut Henry, fenomenologi memiliki kaitan intrinsik dengan teologi karena keduanya memberikan perhatian revelasi. Terma-terma seperti , , , , dan 'showing' 'manifestation' 'revelation' 'givenness' 'apparation' adalah sesuatu yang substansial baik bagi fenomenologi maupun teologi. Berdasarkan kaitan substansial inilah, tidak ada perbedaan intrinsik antara revelasi (teologis) dan (manifestasi) fenomenologis karena kedua-duanya berurusan dengan makna dan struktur manifestasi. Manifestasi adalah revelasi dan . ., hlm. 120-121 vice versa Ibid 68. ., hlm. 124 Ibid 69. ., hlm. 122-126 Ibid 70. Boleh dikatakan bahwa sebagaimana cinta, pasi juga bisa dicirikan sebagai “fenomena penuh” ( ) karena saturated phenomenon ketidakmampuannya untuk direduksi justru karena ia adalah manifestasi-diri yang murni. Daftar Pustaka : 1. Bagus, Lorens, , Jakarta: Gramedia, 2000, cet II. Kamus Filsafat 2. Bradley, Arthur, Negative Theology and Modern French Philosophy, London & New York: Routledge, 2004 3. Caputo, john D. et al (ed), , Blooming & God, the Gift, and Postmodernisme Indianapolis: Indiana University Press, 1999. ________., , Martin Lukito Agama Cinta, Agama Masa Depan terj. Sinaga, Bandung: Mizan, 2001. 4. Hardiman, F. Budi, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, Jakarta: Gramedia, 2003. 5. Jongkers, Peter & Ruud Welten ( ), eds. God in France: Eight Contemporary French Thinkers on God, Belgium: Peeters, 2005. 6. LEVENSON,Carl. et al, , Indianapolis: Hackett Publishing Reality Company, 1994. 7. MARION, Jean-Luc, , Thomas A. God Without Being: hors-texte terj. Carlson, Chicago: The University of Chicago Press, 1991. 8. O'COLLINS, Gerald & Edward G. Farrugia, , Kamus Teologi Yogyakarta: Kanisius, 1996. 9. SCHILLEBEECKX, E., , N.D. Smith, God the Future of Man terj. New York: Sheed and Ward, 1968. 10. SUGIHARTO, Bambang, “Logos Without Substance: Wisdom as 457 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran Seeing Through the Absence”, dalam , Vol. Dialogue and Universalisme XV, No. 1-2/2005, hlm. 157-164 __________, “Salib: Lubang Hitam Spiritualitas”, dalam dalam Salib: Simbol Teror, Teror Simbol – Kajian Multidimensi, Bambang Sugiharto & Harimanto Suryanugraha ( ), Bandung: SangKris, 2003. eds. 11. THISELTON, Anthony C., , Michagan: New Horizon in Hermeneutics Zondervan Publishing House, 1992. 12. WARD, Graham, (ed) , , The Postmodern God: A Theological Reader Massachusetts: Blackwell Publisher, 1997 458 MELINTAS 23.3.2008