Pemda Provinsi Papua harus tegas: Otsus Plus atau Otsus Minus?
Menanggapi tanggapan Tentara Revolusi West Papua, yang disampaikan menanggapi tanggapan dari Ketua MRP, ketua DPRP dan Gubernur Provinsi Papua, maka saya sebagai orang Papua yang sudah memulai mendalami Teori dan Politik Otonomisasi NKRI di Tanah Papua sejauh ini merasa berkewajiban sedikit saja mengomentari perkembangan terkini.
Sama seperti tanggapan TRWP, saya secara pribadi merasa agak aneh kalau Gubernur Papua dan jajarannya, termasuk ketua MRP mengharapkan terlalu jauh, terlalu lewat batas, melebihi batas kemampuan NKRI untuk memenuhinya. Saya selalu katakan secara lisan dan tertulis, bahwa pada saat kita minta apa-apa saja kepada siapa saja, kita harus atau kita lebih dianggap sopan dan bersahabat kalau yang kita minta ialah "yang sanggup dipenuhi" oleh pihak yang menerima permintaan kita, atau si alamat permintaan. Tetapi kalau yang kita minta tidak dapat dipenuhi, maka suasana komunikasi "minta" itu bukan lagi menjadi komunikasi bawahan dan atasan, rakyat dan pemerintah, tetapi ia malahan menjadi suasana "memaksakan". Nah, kalau ada suasana memaksakan, maka di situ timbul unjuk kekuatan, unjuk ego dan sok-sokan lainnya. Maka jelas sekali, ujungnya ialah "hukum rimba", barbarisme, seperti yang bangsa Papua alami sepanjang pendudukan dan penjajahan NKRI atas tanah dan bangsa Papua.
Saya sudah lama katakan kepada aktivis Papua Merdeka mengikuti tuntutan orang Papua minta "dialogue", minta "referendum" selama ini. Saya bilang sederhana, "Mintalah apa yang bisa diberkan oleh NKRI!" Jangan minta kalau Anda sudah tahu NKRI tidak akan berikan.
Tetapi itu yang dilakukan Lukas Enembe, CS, minta terlampau banyak, dan bukannya NKRI tidak mau, tetapi pokoknya NKRI tidak sanggup memenuhinya. Bukannya tidak berniat dan bukan pula tidak berkehendak. Yang menjadi persoalan NKRI tidak sanggup.
Mengapa tidak sanggup?
Kesanggupan NKRI tidak bergantung kepada dirinya sendiiri. Kelahiran dan kehidupan NKRI tidak seratus persen ditentukan oleh Jakarta, tetapi turut ditentukan oleh Washington dan London, Paris dan Canberra. Nasib NKRI juga tidak ditentukan oleh rakyat Indonesia semata. Oleh karena itu, setiap permintaan orang Papua, terutama dialogue dan referendum, harus dihitung Apakah Canberra, Washington, London, Paris, Brussel setuju atau tidak? Sama halnya pula, saat Gubernur Lukas Enembe CS mengajukan UU Otsus Plus, seharusnya tanya dulu ke pendukung Jakarta yang ada di Canberra, London, Paris, dsb tadi. Jangan tanya Jakarta sendiri, jangan minta dari Jakarta sendiri. Itu upaya menjaring angin.
Tuntutan bangsa Papua yang selama ini selalu disuarakan, yaitu Otsus dan referendum diabaikan sama sekali. Permintaan Gubernur Lukas Enembe, CS memang dijawab kali ini. Akan tetapi bukan dijawab, malahan ditolak secara halus.
Itulah sebabnya Lukas Enembe serta-merta dengan berani mengatakan "Saya siap lepas jabatan Gubernur", yang lagunya juga dinyanyikan oleh Ketua MRP dan Ketua DPRP. Sebagai orang-orang Suku Lani, sebagai orang-orang Papua, ketiga tokoh ini seia-sekata. Saya salut! Ini era emas bagi bangsa Papua di dalam kolonialisme NKRI. Ketika tiga-tiganya menyanyikan lagu yang sama, maka kedengarannya merdu dan menyenangkan hati, bukan saja bagi kami yang masih hidup, tetapi juga bagi mereka yang telah berpulang dan yang akan lahir di kemudian hari.
Teman saya, Lukas Enembe, CS tidak berhitung matang, bahwa NKRI tetaplah NKRI. NKRI bukan demokrat, NKRI bukan BIN, NKRI bukan gubernur. NKRI ialah sebuah makhluk yang lahir tahun 1945, makhluk dengan jiwa dan raga tersendiri, terlepas dari Presiden, terlepas dari Mendagri, terlepas dari Gubernur. NKRI punya kemauan dan aturan sendiri, terlepas dari manusia yang menjalankan tugas-tugas negara Indonesia. NKRI bukan manusia, dan karena itu tidak manusiawi. NKRI tidak perlu kemajuan orang Papua, karena NKRI dia butuh Tanah Papua, bukan manusia Papua. Makanya Timotius Murib jangan bilang kemamkuran orang Papua juga akan menjadi kebanggaan NKRI. NKRI tidak urus Anda dan saya sebagai orang Papua. Maaf, ini kasar, tetapi saya harus katakan yang sejujurnya, sesuai fakta, nami kaonak o.
Adik Deerd Tabuni dan Teman Lukas Enembe perlu berhitung ulang, perlu baca ulang, perlu cari judul baru. Ya, perlu judul baru dari Program Otsus yang hendak diluncurkan atas nama PAPUA Bangkit untuk Mandiri dan Sejahtera. Karena kini sudah jadi nyata buat kita sekalian, bahwa yang keluar sebagai hasil dari perjuangan UU Otsus Plus ialah UU Otsus No. 21/2001 Minus, bukan Plus. Jadi justru banyak pasal UU Otsus no. 21/2001 dikebiri, apalagi Draf UU Otsus Plus.
Oleh karena itu, saya ajukan sama-sama dengan proposal TRWP, sebaiknya Lukas Enembe, Deerd Tabuni dan Murib sama-sama mengumumkan kepada bangsa Papua, bahwa perjuangan Otsus Plus telah menghasilkan buah, yaitu sebuah Otsus Minus!
Tentu saja, paling-paling saya secara pribadi tidak akan marah atau menyesal bahwa perjuangan ini saya dapat katakan "telah gagal", karena saya tahu kegagalan ini bukan disebabkan oleh ketidak-seriusan atau kelemahan di pihak Pemda Papua, bukan juga karena ketidak-mauan pejabat NKRI untuk membangun Tanah Papua, akan tetapi penyebabnya karena NKRI TIDAK SANGGUP memenuhi permintaan bangsa Papua.
oleh.Sem Karoba .
25 Agustus 2014 pukul 9:00
diambil dari facebook
diambil dari facebook