Jumat, 05 Juni 2015

TEOLOGI ABSENSIA :


 SEBUAH TAWARAN
Haryo Tejo Bawono Parahyangan Catholic University, Bandung, Indonesia ABSTRACT Referring back to the age-old tradition of Negative Theology and combining it with deconstructive 'Heuristic Way' of French Postmodern PhilosophicoTheology , this article seeks to reiterate the centrality of 'Absence' vis-à- vis 'Metaphysics of Presence'. Theology of absence is offered as a middle way between affirmative and negative theology by incorporating some basic ideas of Derrida, Jean-Luc Marion, Michel Henry, Levinas and Marc C. Tylor. In the final analysis, it is 'Life' itself that is to be the focus of theology. Key Words: l l Jalan ketiga Metafisika ketidakhadiran Skandal teologis l l l l l kenosis Re-veilation acere veritatem God without Being F l l l l I I dol kon Jejak Allah Hidup 23.3.2008 [437-458] 437 His father said to him: “Svetaketu, have you asked for that knowledge by which we hear the unhearable, by which we percieved the unperceivable, by which we know the unknowable?” … “Bring a fruit of that Nyagrodha tree.” “Here it is, sir.” “Break it” “It is broken, sir” “What do you see?” “Some seeds, extremely small, sir” “Break one of them” “It is broken, sir” “What do you see?” “Nothing, sir.” “The subtle essence you do not see, and in that is the whole of the Nyagrodha tree. Believe, my son, that that which is the subtle essence – in that have all things their existence. That is the truth. That is the Self. And that, Svetaketu, THAT ART THOU.”1 S esobek percakapan yang dijumput dari Upanishad di atas dengan kental menggambarkan sebuah perjalanan kesadaran pengetahuan manusia yang mencoba bercakap-cakap dengan realitas, yaitu bagaimana pengetahuan manusia bisa sampai pada realitas yang sesungguhnya, realitas yang absolut. Namun, dalam kacamata penulis, kisah di atas juga bisa dilihat 2 atau dibaca ulang sebagai sebuah perjalanan bahasa (teologis) dalam usahanya 'menangkap' realitas Allah, bahasa yang mengosongkan diri. Bila buah dari pohon Nyagrodha digambarkan sebagai konsep atau bahasa, yaitu semacam representasi realitas yang sesungguhnya, maka yang pertama kali dilakukan agaknya adalah mengambil sang buah, memegang bahasa– . Bila berhenti di sini, maka kisah ini berbicara tentang “Here it is, sir” bahasa katapatis, sebuah Teologi Positif, di mana bahasa dianggap bisa 3 menangkap dan merepresentasikan realitas, di sini sangat dimungkinkan terjadi proses predikatif atas apa yang telah ditangkapnya. Masalahnya, ternyata usaha ini tidak memadai untuk sampai pada intensi yang sesungguhnya. Maka yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mendekonstruksi bahasa katapatis yang ada itu – “ . Proses Break it” dekonstruksi ini tidak berhenti, ia adalah proses yang terus berlangsung. Bisa dikatakan bahwa proses ini adalah sebuah usaha untuk mengganti bahasa katapatis dengan bahasa apopatis. Pada ujung bahasa apopatis, 438 MELINTAS 23.3.2008 akhirnya, lahirlah ketiadaan – . Bila berhenti di sini, dalam “Nothing, sir” wilayah teologi, ini berarti sebuah Teologi Negatif, di mana segala usaha berbahasa manusia untuk sampai pada realitas ilahi adalah sia-sia, dan kalau pun hendak berbahasa, haruslah menggunakan bahasa yang menampik, yang non-predikatif.4 Namun kisah ini tidak berhenti di sini. Kisah ini, hendak berbicara tentang sebuah bahasa yang memiliki elegansa karena disertai kesadaran akan 'ada'nya sesuatu yang 'tidak hadir', - –, yang hendak “you do not see” dibahasakan melalui bahasa yang mencoba setia terhadap ketidakhadiran itu, sebuah absensia. Sebuah kesadaran yang tak memiliki pretensi untuk 'melihat yang tak terlihat', atau 'membiarkan tak terlihat', tetapi, menyadari bahwa 'tidak melihat pun juga sebuah penglihatan', atau dengan ungkapan lain yang lebih pas: manusia mampu 'mendengarkan yang tak terlihat'. Bila yang disebut sebagai 'paradigma' – demikian T. Kuhn – adalah keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik, dan sebagainya yang terdapat dan saling dibagikan dalam sebuah komunitas tertentu, terma “Paradigma Absensia” mau mengacu pada pengertian paradigma yang macam demikian. Ini berarti bahwa absensi menjadi sebuah paradigma; sebuah kepercayaan, nilai, teknik, atau apa pun yang menjadikan absensi sebagai salah satu cara berfikir yang terdapat dan dibagikan dalam sebuah komunitas tertentu, dalam hal ini teologi. Maka, kata Teologi Absensia, mau mengacu pada metode berteologi yang menggunakan paradigma absensia. Paradigma ini tentu saja bukan hal yang baru. Para pemikir yang memiliki perhatian yang sungguh di bidang teologi dan filsafat sudah mencapai titik ini, hanya saja mereka belum menemukan sebuah istilah yang memadai untuk paradigma ini, sebuah paradigma yang akan menghantar manusia tidak saja sekedar berkata-kata Allah, namun, berbincang tentang dengan Allah. Sekedar contoh dari beberapa teolog dan filosof yang telah sampai pada paradigma ini akan sekilas penulis paparkan. Psedo-Dionysius membentangkan “jalan ketiga” dalam berteologi yang persis menggamit serentak menampik gaya berteologi apopatik dan katapatik. Menurutnya, 5 baik apopatik (negatif) maupun katapatik (affirmatif) adalah sama-sama penting namun juga serentak sama-sama tidak penting, dimana yang satu tidak bisa lebih unggul daripada yang lain. Katapatik tanpa apopatik akan mereduksi Allah ke dalam imaji-imaji manusia sendiri mengenai Allah dan lantas lahirlah (pemberhalaan). Apopatik tanpa katapatik pun hanya idolatry akan menghantar manusia pada kekosongan, pada keyakinan bahwa tidak ada satupun yang mampu untuk membahasakan pengalaman akan Allah, dan di ujungnya lahirlah agnostisisme ataupun atheisme. Keduanya 6 haruslah diperlakukan secara dialektik, dimana katapatik akan memberikan Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran 439 dasar affirmatif mengenai Allah dan apopatik mengambil peran sebagai pengoreksi dan pemberi pemahaman ulang sejauh mana segala affirmasi itu memang sungguh-sungguh mengacu pada Allah dan bukan pada imaji manusia sendiri. Dialektika inilah yang melahirkan “jalan ketiga”. Pada “jalan ketiga” ini, perkara Allah bukanlah lagi perkara affirmasi atau negasi, benar atau salah, katapatik atau apopatik, singkatnya jalan ini bukanlah wacana predikatif yang senantiasa berkata-kata Allah, melainkan tentang sebuah penggunaan bahasa yang pragmatis, yang mencoba berbicara dengan Allah. Pada jalan ini yang tersisa hanyalah pujian kepada Allah, karena Allah tidak akan pernah bisa diketahui ( ) juga tidak akan pernah bisa unknowable dimengerti ( ); Allah adalah yang “tak dikenal” ( ), incomprehensible unknown bukan karena Ia memiliki , namun justru karena kekurangan kepenuhan ( ) atau Nya ( ) melampaui segala konseptualitas dan fullness kelebihan excess predikasi yang dapat dibuat manusia. Di hadapan Allah yang “tak dikenal” 7 ini, manusia tidak mampu untuk menyebut nama, namun manusia masih mampu untuk memanggil ( ) lewat puji-pujian. call 8 Meister Eckhart pernah juga mencoba untuk mentengarai perbedaan antara apopatik dan katapatik. Bagi Eckhart, Allah adalah ( unum Absolute Unity, Kesatuan Mutlak), yang serentak imanen maupun transenden berkenaan dengan ciptaanNya. Maksudnya, Allah memiliki karakter yang keunikannya demikian absolut absolutely distinguishing characteristic ( ) yang tiada lain justru adalah ( ketidakmungkinanNya untuk dibedakan his inability to be distinguished). Dalam artian inilah lantas bisa dipahami bahwa Allah serentak 9 terpisah ( ) dan tak terpisah ( ) dari ciptaanNya, dan semakin distinct indistinct distinct indistinct Allah dari manusia semakin pula Ia dari manusia, juga sebaliknya. Argumentasi ini memampukan Eckhart untuk melampaui segala wacana positif dan negatif mengenai Allah karena dengan argumentasi yang demikian Eckhart memahami bahwa Allah itu transenden terhadap ciptaanNya justru Allah imanen dalam ciptaannya. karena 10 Meskipun tidak menciptakan sebuah istilah baru untuk paradigma absensia ini, Jacques Derrida telah juga mencoba untuk melampaui persoalan mengenai Teologi Apopatik dan Teologi Katapatik, dengan mengulang istilah 'Teologi Negatif' namun secara berbeda. Menurut 11 Derrida, saat Teologi Negatif dibaca secara berbeda, maka teologi tidak lagi menjadi persoalan atau perdebatan mengenai yang positif atau negatif, yang affirmatif atau negatif, ada atau tidak ada, melainkan menjadi sebuah usaha dekonstruksi teologis yang memiliki keterbukaan tak terbatas pada segala kemungkinan masa depan yang tak bisa diprediksi, bahkan keterbukaan terhadap sesuatu yang sungguh-sungguh berbeda. Derrida menambahkan bahwa dengan Teologi Negatif yang diulangi secara berbeda ini, teologi 440 MELINTAS 23.3.2008 mampu untuk mengukuhkan sikap yang sangat dibutuhkan setiap insan pada masa sekarang ini: hospitalitas.12 Contoh-contoh di atas menggambarkan secara sekilas bahwa memang paradigma absensia bukanlah sebuah hal yang baru dalam usaha manusia berteologi, namun di sisi lain, kita juga bisa memahami bahwa paradigma absensia adalah sebuah kerinduan purba yang tak lekang oleh waktu. Mungkin inilah saatnya untuk semakin menyadari pentingnya paradigma absensia dalam usaha kita berteologi. Artikel ini mencoba untuk menghadirkan secara lebih khusus paradigma absensia untuk mendekati realitas yang ilahi, kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dihadirkan melalui paradigma absensia. Ini adalah sebuah tawaran atau sebuah undangan untuk masuk berkubang dalam permasalah absensi dalam teologi. Absensia : Skandal dan Sensualitasnya Hukum rasionalitas manusia mengharuskan manusia untuk menciptakan dan meyakini bahasa yang secara horisontal memiliki koherensi logis-konseptual, serentak secara vertikal memiliki korespondensi empiris antara subyek dan obyek. Dari hukum yang macam ini, jelaslah yang dituntut adalah : sebuah kepastian yang tak wagu dan – kata Descartes – tak ragu. Kepastian ( ) adalah istilah yang sangat tepat certainty menggambarkan tuntutan dan ruang gerak epistemologi ilmu-ilmu modern manusia.13 Sebagaimana telah dipaparkan di atas, pola yang demikian ini sesungguhnya mengandaikan sebuah metafisika tertentu, yang dirumuskan sebagai “Metafisika Kehadiran” ( ), sebuah keyakinan Methaphysics of Presence akan kehadiran “sesuatu” di dalam realitas dan bahasa manusia. Bahkan yang disebut sesuatu itu tidak bisa tidak pastilah sebuah substansi, entah itu di luar atau pun di dalam subyek. Dengan keyakinan akan hadirnya sebuah substansi dalam sesuatu, maka bahasa memiliki tendensi untuk menjemput serta menangkap substansi itu, lantas kemudian dihadirkan kembali melalui bahasa.14 Kini, dalam pemikiran kontemporer, kita tahu bahwa pemahaman yang demikian tidak membawa manusia ke mana pun, bahkan menghantar manusia untuk mengubur realitas dan dirinya sendiri, karena manusia terbelenggu oleh konstruksi yang dibuatnya sendiri. Manusia mulai melirik 15 pelbagai kemungkinan yang bisa memberikan kebebasan, salah satunya adalah mendengarkan suara dari luar kriteria yang ada, di luar ruang logis yang konvensional. Ketika rasionalitas telah mengerut menjadi kriteria berbahasa, maka itu semua lantas berarti memberi tempat pada 441 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran 'irrasionalitas' yang disadari. Apa yang diandaikan dalam irrasionalitas itu persis bertolak belakang: sebuah metafisika yang memberi tempat pada ketidak-hadiran (Metaphysics of Absence). Tidak ada lagi suatu substansi, yang ada adalah relasi dan adaptasi yang tiada henti. Ini memang bagai 'skandal' bagi rasionalitas manusia, karena rasionalitas yang awalnya dianggap demikian meyakinkan dan pasti ternyata mesti tersandung-sandung realitas dan pengalaman yang demikian kaya, berhadapan dengan begitu banyak anomali. Situasi ini akhirnya serentak menjadi semacam tuntutan untuk merumuskan ulang rasionalitas itu sendiri. Namun ini merupakan momentum kearifan juga, 16 karena dari sana tampillah peluang untuk menampung segala ketidakpastian dan kegamangan. Di sini lantas bahasa diturunkan dari kedudukannya 17 sebagai cerminan rasionalitas ( ) manusia. Bahasa menjadi sebuah Logos medan yang tak pernah selesai mencerna dan mencairkan apa yang mungkin ditangkapnya, termasuk didalamnya irrasionalitas, ambiguitas, paradoks dan hal-hal yang memang tidak mudah ditangkap dan dibahasakan. Singkatnya, bahasa dikembalikan kepada hidup itu sendiri, pada pengalaman hidup manusia yang elusif dan senantiasa bergerak. Apa yang terjadi dalam wilayah teologi bila masuk ke dalam paradigma absensia adalah jelas: sebuah 'skandal' teologis, sebab teologi seolah menjadi sesuatu yang 'irrasional', yang membutuhkan klarifikasi dengan kategorikategori yang sangat berbeda dari apa yang selama ini dipakai. Paradigma berteologi macam ini dapat menjadi batu sandungan bagi segala langkah teologi yang mungkin telah mapan. Itu di satu sisi. Di sisi lain, paradigma absensia mungkin justru mampu menghantar manusia masuk lebih dalam ke dasar hidup itu sendiri, yang justru, karena sedemikian kaya dan luas, memang ditandai berbagai persilangan paradoks, ambiguitas, dan aneka sisi yang bertegangan. Kehidupan yang senantiasa mengandung 'skandal' itulah yang akhirnya menuntut skandal metodis pula. Paradigma absensia akan menghantar manusia pada apa yang saat ini disebut dengan 'jalan heuristik' ( ). Jalan ini merupakan sebuah heurestic way 18 cara berfikir yang membetot aturan-aturan baku sebuah ilmu hingga ke titik-titik yang paling radikal sehingga, lewat segala tegangan yang tercipta, menyeruaklah kemungkinan yang awalnya tak tampak, kemungkinan untuk menjangkau realitas yang lebih besar. Fenomena “ ” Theological Turn (pembalikan teologis) di Perancis adalah contoh bagus tentang hal itu . Dalam fenomena ini, para pemikir Perancis macam Paul Ricoeur, René Girard, Emmanuel Levinas, Michel Henry, Derrida, Lyotard, Jean-Luc Marion, Jean-Yves Lacoste, mencoba untuk 'melanggar batas' disiplin ilmu yang mereka geluti (filsafat, khususnya fenomenologi). Mereka tidak lagi 442 MELINTAS 23.3.2008 berkutat pada persoalan-persoalan fenomenologi filosofis sebagaimana yang biasa dilakukan, namun mencoba untuk memberikan ruang pada ideide teologis dalam pemikiran mereka. Di ujung pemikiran-pemikiran mereka, kita mendapati bahwa ternyata Allah masih memiliki ruang di sebuah dunia yang digerus sekularisme dan atheisme. Dengan demikian 19 teologi menjadi sebuah daya yang kreatif, yang terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, sisi-sisi yang selama ini tidak diperhitungkan, dan pada akhirnya ini berarti sangat dimungkinkan ditemukannya kebenaran-kebenaran baru, yang mungkin selama ini tidak pernah diperhatikan namun justru paling dirindukan. Teologi dengan paradigma absensi, atau teologi absensia, dengan demikian mengandung sensualitas, karena di dalamnya segala gairah yang meletup di dalam hidup manusia tertampung dan dibiarkan mengalir, bersentuhan dengan manusia apa adanya. Melalui paradigma absensia, bahasa teologi diajak untuk mencicipi apa yang selama ini enggan untuk dicicipi; untuk melihat kemungkinan bahwa segala dikotomi dan polaritas produk rasionalitas dan bahasa manusia macam 'ada' dan 'tiada', 'surga' dan 'neraka', 'putih' dan 'hitam', jangan-jangan hanyalah perbedaan semantik yang arbitrer.20 Menjelajahi Keheningan Salah satu penyebab krisis kontemporer dalam teologi adalah fideisme sebagai bentuk perlawanan yang gigih terhadap setiap bentuk “Teologi Natural”. Krisis tersebut ditandai dengan meningkatnya kesadaran, baik 21 secara teoritis maupun praktis, bahwa kita tidak memiliki pengetahuan yang real tentang Allah, dan setiap konsep tentang Allah yang disodorkan pada kenyataannya cenderung menyangkal transendensi Allah. Akibatnya, setiap konsep mengenai Allah dimarjinalisasi, dianggap abstraksi yang tidak mengguratkan sesuatu pun. Heidegger menangkap situasi ini, maka tidak 22 mengherankan jika ia menandaskan bahwa teologi terlalu di harubiru paradigma metafisika-kehadiran sehingga yang ada bukanlah teologi, namun onto-teologi, yaitu situasi dimana teologi tidak pernah bisa beranjak lebih jauh lagi, keluar dari dirinya sendiri, terkungkung penjara metafisikakehadiran. Inilah saat di mana manusia memasuki jaman , the loss of the gods sebuah pengalaman historis dimana segala usaha berteologi adalah sebuah kesia-siaan karena setiap usaha macam itu akan senantiasa berarti serentak too late too soon dan . Akhirnya, menurut Heidegger, manusia tidak lagi bisa menatap aktivitas Allah di dalam dunia, manusia hanya bisa merasakan secara subyektif kehadiran Allah di dalam interioritas hatinya.23 443 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran Namun kita tidak berhenti di sini. Sebagaimana telah disinggung di atas, manusia adalah mahluk yang essensinya eksis dengan cara memahami dan pemahaman-diri, maka manusia hanya dapat berbicara secara bermakna mengenai Allah jika segala affirmasi ini secara batiniah bertautan dengan pemahaman akan dirinya sendiri. Adalah tidak mungkin untuk memformulasi pernyataan apa pun mengenai Allah yang pada saat yang sama bukan sesuatu yang juga bermakna bagi manusia itu sendiri, atau pernyataan mengenai manusia yang tidak mengatakan sesuatu pun yang bermakna mengenai Allah. Ini berarti 24 bahwa sesaat setelah historisitas pengalaman eksistensial manusia diletakan dalam kerangka refleksi, kita menyadari bahwa bahasa kita mengenai Allah harus bertumbuh dan berubah bersamaan dengan perkembangan pengalaman eksistensial kita. Bila tidak demikian maka, setiap bahasa kita mengenai Allah akan menjadi tidak relevan, tak berarti, dan kosong.25 Lebih lanjut ini berarti bahwa Teologi tidak dapat didefinisikan sebagai relasi eksklusif dengan Allah semata. Teologi hanya dapat didefinisikan dengan sebuah cara yang spesifik, yang mentransendesikan dirinya sendiri, yang mendekati totalitas kenyataan dan membantu merealisasikan totalitas ini dalam kehadiran Allah yang aktif, sebab terkandung dalam kesegeraan absolut, yang tidak pernah tunduk kepada kehendak manusia. Inilah yang 26 menjadi aspek otentik yang dapat dimurnikan selalu menjadi cara baru berbicara tentang Allah pada jaman kontemporer ini – yang menurut Schillebeeckx – sebuah jalan yang membiarkan Allah keheningan menemukan ekspresi di dalam karya nyata kita untuk kesejahteraan saudarasaudara kita.27 Hening akan Allah ini – yang berarti semata-mata membiarkan Allah menghadirkan diri dalam relasi manusia dan karya-karya manusia di dalam dunia – bisa berarti berbicara jauh lebih keras daripada kata-kata yang tidak memiliki relevansi yang sesungguhnya paling penting di dalam hidup manusia. Hening yang demikian bisa menjadi sumber hidup dari segala harapan kita.28 Setiap upaya teologi dalam membahasakan Allah dalam kerangka absensi selalu merupakan sebuah perjalanan reflektif yang hening dari siapa pun yang memiliki kepedulian pada permasalahan ini, dan karenanya menuntut jerih payah tersendiri, laku yang tak tawar dan bisa panjang, bahkan mungkin bisa melibatkan hal-hal yang musykil. Teologi Absensia 29 adalah sebuah penjelajahan bahasa dalam keheningan yang rinai, yang menciptakan sebuah ruang refleksi: sebuah jeda bagi manusia-manusia kontemporer yang linglung dan bingung untuk merefleksikan dan mengucapkan apa yang selama ini mungkin telah hilang. Sebuah penyibakan 444 MELINTAS 23.3.2008 ingatan yang rimbun tentang yang sepele tapi konkret, yakni tentang pilihan bebas manusia untuk “mungkin” memiliki cinta: sebuah kenosis (pengorbanan) yang tidak masuk akal, kesetiaan yang kerap diselingi ragu, gundah, dan kadang juga labil. Dengan ruang refleksi yang mampu dihadirkan oleh teologi absensia, terbentanglah sebuah “suasana” hening, dan manusia menjelajah di dalamnya. Dengan ini manusia tidak akan kehilangan keseriusan eksistensialnya, karena ruang refleksi ini membawa fungsi katarsisnya sendiri : mengikis dan membersihkan identitas spiritual manusia. Paradigma absensia memberikan sebuah ruang bagi 'teologi' 30 untuk, meminjam Carl A. Raschke, memekar menjadi 'dialogi' ( ). dialogy 31 Di akhir penjelajahan keheningan ini, melalui teologi, manusia ditawari pilihan: atau menerima atau menolak kenyataan bahwa eksistensi manusia adalah sebuah yang tidak dapat dijelaskan dalam terang janji keselamatan Being kongkret manusia. Bila teologi hendak memberikan komitmennya yang 32 terdalam terhadap dunia, itu berarti teologi harus mampu menghantar manusia modern untuk menerima Allah sebagai yang ultim.33 Kenosis : Ego yang Menyenggang34 Peradaban manusia pernah dan masih menjadikan ego sebagai titik gravitasi kehidupan. Ini adalah sisa-sisa yang tertinggal dari harapan dan mimpi kaum modernis. Ego adalah titik berangkat dan titik akhir segalagalanya. Di dalamnya yang ditekankan adalah otonomi individu yang disertai rasa percaya diri yang berlebihan kepada rasionalitas. Dengan nuansa yang egologis macam ini tidak mengherankan jika tidak ada tempat yang cukup untuk menampung segala dimensi yang supranatural dan suprahuman. Segala aspek misterius, transenden, dan dinamis dari segala 35 pertautan manusia dengan pengalaman persentuhannya dengan sesuatu yang sungguh lain ( ) semata-mata dipahami dari sudut the wholly other psikologis atau pun seni. Imaji-imaji klasik tersisih, dan dibayangkan sebagai sisa-sisa mentalitas pra-modern yang kekanak-kanakan. Psikologi dan seni menjadi wilayah yang mengartikulasikan spiritualitas individu modern, dan teologi mundur ke belakang menjadi semacam mistifikasi esoteris dari bahasa yang tak pernah dimengerti dan enggan dimengerti atau malah sebaliknya, menjadi semacam kemungkinan mencari nafkah dengan cara menjual nama Allah secara murahan, yang tak jarang menumpahkan darah dan amarah. Di penghujung egologi macam ini, manusia sendirilah yang terancam: terjangkiti semacam penyakit disorientasi hidup dan kekosongan batin yang parah. 445 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran Bila teologi hendak membahasakan diri di jaman kontemporer dengan lebih relevan dan bermakna serta menghantar manusia kepada Allah yang transenden maka teologi haruslah memiliki kemampuan untuk tersadar dalam tegangan – meminjam Mark C. Tylor – antara dan revelation reveilation36, sehingga tersingkaplah kembali selalu segala apa yang selama ini begitu melilit ego manusia. Dengan demikian teologi menjadi wacana tentang potensialitas pengartikulasian tanpa akhir sang Maha Lain yang senantiasa mengelak diberi nama. Kendati secara historis selalu ada kecenderungan pergeseran dari (pewahyuan) ke revelation re-veilation (pengerudungan), ruang refleksi mesti memungkinkan kembali gerak sebaliknya setiap kali : dari pengerudungan ke pewahyuan atau penyingkapan kembali. Gerakan terbalik demikian, membuat segala refleksi teologi tidak terjebak dalam permenungan yang sekedar permainan pantulan konseptual atau pun intertekstual ( ) yang berputar di dalam reflection atau tersesat di luar, melainkan sebuah usaha pelenturan kembali ( ) re-flexivity segala apa yang telah kaku dan beku.37 Menurut Tylor, segala pergerakan/pergeseran di atas seharusnya bertujuan “membongkar kedok” fiksional dari segala apa yang kita percayai, termasuk juga ilusi keutuhan : “Salah satu karakter dari postmodernisme self adalah matinya ke-diri-an.” Dengan paradigma absensia, teologi dapat 38 menjadi sebuah “aliran yang tak pernah berhenti”, gerak yang terus menerus men-transendensi diri. Melalui paradigma absensia, teologi lantas berarti inkarnasi dari “Kenosis segala kehadiran diri yang absolut”. Inkarnasi macam ini menampilkan sebuah permainan tanpa henti, permainan “penyaliban kata” dimana aktivitas penundaan, dekonstruksi, atau penghapusan, analog dengan pengalaman salib: sebuah gerak pengosongan diri, dari menuju . Di sini kata atau segala selfishness selflessness bahasa yang berasal dari hasrat manusia dilihat sebagai proses egologi penopengan diri. Sebuah proses yang cenderung menjerat manusia dalam matarantai pengelabuan tanpa akhir.39 Labirin Berujung Cinta Berujung dimanakah labirin ini? Atau apakah memang ada yang pantas disebut 'ujung', bila apa yang disebut labirin saja menampik apa yang disebut 'awal' atau 'tengah'? Tetap harus ada sebuah keputusan, sebuah ujung yang bukan ujung, ujung yang berarti awal, tengah yang berarti tepi. Karena bila tidak demikian, teologi akan sampai pada penyakit disorientasi dan tanpa kebermaknaan di ekstrem yang lain. 446 MELINTAS 23.3.2008 Bagaimana menganalogikan teologi absensia ini dalam bentuk yang real? Analogi yang terbaik, yang memuat unsur kenosis dan absensi, adalah cinta dan ke- -an ( ). Berikut akan dijelaskan mengapa dua hal tanpa withoutness tersebut bisa dianggap mewakili paradigma absensia. Mungkin tidak ada sebuah kata yang dalam sepanjang perjalanan sejarah kesadaran manusia sedemikian abadi, selain cinta. Karena di dalam terma itu ada gumpalan misteri, yang mendorong dan merongrong hidup manusia selalu tanpa henti. Cinta tetap merupakan sesuatu yang tak terjelaskan, dan senantiasa mengundang interpretasi. Saat ini memang 40 harus diakui bahwa terma itu telah sedemikian diinterpretasikan sebagai melulu bersifat fisik dan seksual, yaitu bercinta. Namun sesungguhnya, 41 bila cinta dibongkar aspek-aspek badaniahnya, kita bisa sampai pada sebentuk jiwa yang mampu menganalogikan Allah. Menurut Marion, ada dua ciri dari sesuatu yang dapat disebut sebagai cinta. , cinta itu selalu Pertama berarti pemberian diri ( ). Dan pemberian diri itu adalah satu arah: gives itself 42 tanpa memandang apakah si penerima ( ) layak atau tidak interlocutor menerimanya, sanggup atau tidak. Singkatnya, cinta adalah pemberian diri yang tanpa syarat, tanpa batas, dan tanpa menunggu kesiapan dari si penerima. , adalah hanya cinta (sebagai sebuah konsep), yang 43 Kedua memiliki kekuatan performatif, yaitu memiliki potensi untuk menggerakan, mengubah, mencairkan kebekuan, dan untuk berbuat sesuatu yang lebih daripada cinta itu sendiri (sebagai konsep).44 Paradigma absensia adalah paradigma cinta; bahasa absensia adalah bahasa cinta, Allah dalam teologi absensia adalah Cinta. Walau pun cinta 45 bersifat tak bersyarat ( ), namun sesungguhnya ia memiliki satu unconditional tuntuntan: pengosongan diri, karena hanya dengan pengosongan diri itu cinta dimungkinkan. Cinta tanpa pengosongan diri adalah – meminjam Caputto – bualan kosong, rayuan gombal yang hanya layak diucapkan oleh mereka yang kesepian. Oleh karena itu cinta memang berurusan dengan ketidakmungkinan, batas-batas eksistensial yang absolut dan dengan cinta manusia didorong sampai pada batas-batas yang mungkin, sepenuhnya berkembang melampaui kemampuan kita, melampaui kekuatan kehendak kita, didorong sampai pada titik di mana hanya gairah iman, harapan dan cinta sendirilah yang menyala-nyala. Dan hanya satu kriteria untuk menilai 45 kebenaran cinta, yaitu dengan apa yang disebut oleh Agustinus sebagai “ ”, “membuat” atau “melakukan” kebenaran. Secara lebih facere veritatem jelas dapat dikatakan cinta adalah perkara tindakan/perbuatan. Pada 46 akhirnya, cinta akan menggiring manusia pada tindakan tulus untuk terbuka terhadap yang lain, yang asing, yang berbeda; cinta memampukan teologi 447 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran untuk mendorong manusia untuk mampu dan berani berkata – meminjam istilah Michel de Certeau – . 'yes, in the foreign land' 48 Terma lain, yang cukup dapat mencerminkan paradigma ini adalah kata “tanpa” ( ), sebuah kata yang persis berada di tengah antara with_out “adalah” ( ) dan “bukan” ( ). Karena ia ada di tengah, maka ia bukanlah is is not is is not out without dan juga bukan : inilah aspek ' ' dari kata ' '. Tetapi ia serentak 49 adalah rangkulan mesra diantara keduanya : inilah aspek dari kata with ' '. Meskipun Marion sendiri tidak menggunakan algoritma kata without macam ini secara eksplisit, namun sesungguhnya ini sebuah permainan bahasa yang mampu mencerminkan paradigma absensia. Misalnya: “God 50 is Being” adalah pernyataan affirmatif; sedangkan pernyataan “God is not Being” adalah pernyataan negatif; sedangkan “God Being”, mau without merangkul kedua arti pernyataan itu, serentak menampik kedua pernyatan sebelumnya. Dalam buku Marion sendiri, pernyataan terakhir itu diungkapkan sebagai yang disilang, God. Baik kata “God” mau pun God 51 “silang”, keduanya harus tetap dicatat/tertulis, karena kedua-duanya penting, namun serentak tidak penting. Dengan kata “tanpa” suatu konsep tidak akan pernah membeku dan menjadi – meminjam Marion –, karena idol dengan demikian kita selalu diingatkan akan adanya kemungkinan lain, diingatkan bahwa selalu ada unsur fiktif dalam konsep-konsep yang kita pegang, bahwa selalu ada realitas lebih jauh di baliknya yang harus dikejar. Teologi mudah terperangkap dalam 'idol'. Yang diperlukan adalah 'ikon'. Idol membekukan realitas, ikon menyingkapkan, mewahyukan, namun serentak tetap membiarkan yang terwahyukan tersebut sebagai misteri yang tak tertembus. Contoh bagus ikon adalah Yesus Kristus – eikōn tou theou aoratou. Yesus Kristus mewahyukan Allah, bahkan 52 dengan melihat Dia kita melihat Allah, namun, Ia tetap menampilkan sisi misterius Allah juga. Dalam Yesus Allah tetaplah Allah yang ganjil, tak lazim, tak terpermanai, sulit dimengerti. Mencintai Misteri Teologi absensia menggiring manusia pada : possibility of the impossibility bahwa Allah tetaplah misteri, dan kita diundang untuk mencintai misteri ini. Kita mencintai misteri tidak dengan 'mengerti' atau 'memahami', namun 'mengenal' dengan 'menarikannya'. Bila dikatakan bahwa Allah adalah 53 misteri (padahal jelas bahwa Allah mewahyukan diri pada partikularitas sejarah manusia) itu mau menegaskan bahwa misteri bukan soal Allah, tetapi soal manusia, soal keterbatasan manusia (terutama rasionalitas dan bahasanya).54 448 MELINTAS 23.3.2008 Keterbatasan manusia ini menciptakan penderitaan batin tersendiri bagi manusia yang bersikukuh mencari jawab, karena seolah-olah Allah adalah Dewa Janus, dewa berwajah dua: Allah yang dimengerti (secara kognitif) versus Allah yang dialami (secara afektif). Allah yang bernegosiasi dengan Musa dengan Allah yang muncul dalam mimpi dan berkelahi dengan Yakub dan tak mengijinkan diriNya diberi nama. Allah yang transenden dan Allah yang imanen; yang personal dan yang impersonal; yang bisa diajak bicara dan yang hadir dalam musik dan mantra. Allah yang ditemui dalam sesama di keramaian dan Allah yang hadir dalam samadi di sudut sunyi. Dan justru di situlah misteri Allah, bahwa Ia dialami sebagai real, namun tak dapat ditangkap. Misteri, karena kepenuhan realitas ilahi 55 tak pernah secara tuntas bisa ditangkap oleh manusia, juga tidak di dalam kepenuhan eskatologis; namun serentak semua itu mengandaikan adanya komunikasi Allah yang real dengan manusia.56 Dengan paradigma absensia, teologi niscaya mampu mentransendensikan keterbatasan manusia justru melalui cara yang imanen, melalui cara yang sangat mungkin dilakukan manusia: mencintai. Teologi absensia mengundang manusia untuk mencintai misteri ilahi, dalam doa yang merangkul segala elusivitas, ambiguitas dan kontradiksi, dalam keheningan yang tak kuasa mengungkapkan sepatah kata pun; dalam doa yang tidak 57 menyebut dan memperkatakan nama Allah, namun memanggilNya ( , call vocation).58 Sejalan dengan ini, Emmanuel Levinas memberikan jembatan bagi teologi untuk menghantar manusia sampai pada rasa cinta terhadap misteri, karena bagi Levinas teologi hanya mungkin untuk diterima jika teologi mampu untuk menghadirkan wacana yang secara konstan mengkritisi, menkoreksi bahkan membatalkan dirinya sendiri. Levinas memberikan 59 alasan yang sederhana: karena Allah adalah yang misteri, mencintai Allah adalah mencintai misteri itu sendiri. Beranjak dari situasi etis manusia saat berjumpa, berkonfrontasi, dan berdialog dengan sesamanya, manusia bisa menyadari adanya pihak ketiga yang selalu hadir namun telah “berlalu” ( ), yaitu Allah, atau “jejak” Allah dalam diri sesama. “Jejak” passed by absolutely ini akan menghantar manusia pada struktur relasi non-resiprokal kepada sesamanya. Struktur inilah yang bisa disebut sebagai situasi cinta. 50 61 Di sisi lain, dengan konsep ini, Levinas mengingatkan bahwa Allah tetaplah bukan sebuah fenomena yang tampak dihadapan manusia, hadir di depan wajah manusia, yang bisa diobservasi, dirumuskan, atau ditematisasikan. Singkatnya, Allah tetaplah misteri. Namun, dihadapan 62 misteri itu dimungkinkan tercipta rasa “takjub” ( ) – sebuah situasi wonder 449 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran yang menampik hasrat untuk mengeksplorasi sesuatu sebagai informasi, sebagai pengetahuan, atau menampik kontrol – yang bisa menenggelamkan manusia ke dasar misteri, bersentuhan secara lebih intim dalam relasi dengan misteri itu sendiri. Rasa takjub ini tidaklah menuntut pengetahuan 63 logis, jawaban atas segala tanya; namun sebuah ajakan untuk terus menerus mencari dan menghasrati . Allah yang misteri adalah Allah yang menuntut 64 “semangat keterbukaan budi yang total”.65 Bila Emmanuel Levinas bertolak dari situasi etis untuk sampai pada cinta akan Allah yang misteri, yang meski tak bisa dijumpai secara langsung namun kita mampu untuk merasakan jejakNya dalam perjumpaan dengan sesama, Michel Henry (1922 – 2002) menyarankan sesuatu yang jauh lebih radikal. Sebagai seorang fenomenolog, Henry meyakini bahwa dengan “fenomenologi radikal” kita bisa mendekati Allah. Bagi Henry, setelah 66 menemukan bahwa fenomenologi pada hakekatnya adalah semacam proses pewahyuan , maka Allah adalah Hidup itu sendiri. Karenanya, pencarian 67 akan Allah sesungguhnya berarti pencarian akan sesuatu yang telah selalu ditemukan namun senantiasa dilupakan. Di sini, Henry mengajak orang untuk menyadari Allah sebagai Hidup dari hidup kita sendiri. Dengan 68 memahami Allah sebagai Hidup, Henry menampilkan kembali kesempatan yang selalu hadir, namun senantiasa luput, untuk menjumpai Allah: bahwa perkara teologi adalah perkara ( ) hidup itu sendiri. pengalaman experience Mencandrai pengalaman macam ini, hanya dimungkinkan melalui pasi ( , : gairah, jerih- payah ). Di dalam pasi tiada subyek atau pathos passion 69 obyek karena pasi merupakan manifestasi-diri yang paling murni. Sebagaimana hidup, pasi tidak pernah bisa direduksi. Kita hanya bisa membandingkan pasi dengan pasi itu sendiri: pasi tidak akan pernah bisa direpresentasikan, dan karenanya kita (manusia) tidak akan pernah 'memiliki' pasi, namun kita 'adalah' pasi itu sendiri.70 Pemikiran Michel Henry di atas membuka kesadaran bagi teologi bahwa berteologi berarti perkara gerak kembali kepada hidup itu sendiri, yang terbentang luas dengan segala paradoks, ambiguitas, tegangan, atau ketidakmungkinan; hidup dengan segala misterinya. Singkatnya, teologi adalah sebuah panggilan untuk kembali mencintai hidup, dan itu berarti memiliki pasi kepada Allah yang misteri. C a t a t a n : 1. Dikutip dari “Thou Art That”, dari Upanisad dalam Carl Levenson & Jonathan Westphal (ed), , (Hackett Publishing Company: Reality Indianapolis, 1994), hlm. 1-4 2. Sebagaimana yang ditulis dalam kata pengantar buku , umumnya Reality 450 MELINTAS 23.3.2008 kisah di atas ditafsirkan melalui kecamata filsafat India mengenai Brahman (Realitas Absolut), bahwa pada akhirnya apa yang disebut sebagai realitas yang sejati adalah Brahman, atau berdasarkan teks itu sendiri, kekosongan ( ). ., vii. nothingness Ibid 4. Dalam hal ini, meski pun dapat dibedakan, mengacu pada Teologi Natural, sebuah cabang teologi yang menyangkut pengetahuan akan Allah yang diperoleh melalui budi saja. Lih. O'Collins ., et al Kamus Teologi, hlm. 322 & 325 5. Pembahasan mengenai bahasa apopatik ada di bagian lain tulisan ini yang tidak dimuat di sini. 6. Bradley, Negative Theology and Modern French Philosophy, hlm. 14, 82 7. , hlm. 82 Ibid. 8. Ibid. 9. Caputo , , hlm. 41-42 et al. God, the Gift, and Postmodernisme Bradley, Negative Theology and Modern French Philosophy, hlm. 16 10. Ibid. 11. , hlm. 11 Ibid. 12. Menurut Derrida, ada tiga point penting berkaitan dengan Teologi Negatif yang dibaca secara berbeda, yaitu: [1] pada akhirnya Teologi Negatif mencirikan sebuah identitas tanpa-identitas, tidak pernah bisa dibatasi oleh spasialitas tradisi pemikiran manapun. Maka bisa saja dikatakan bahwa Teologi Negatif adalah contoh identitas yang paling baik justru inilah contoh yang paling buruk, yang paling layak karena karena paling tidak layak, paling tidak bisa tersubstitusi karena paling bisa tersubstitusi; [2] Teologi Negatif bukanlah perkara definition (definisi, pemahaman) namun (keputusan); [3] dan segala decision decision yang diambil tersebut selalu ada dalam wilayah tanpa dasar apa pun sehinggga secara permanen terbuka terhadap kemungkinan decision Ibid. selanjutnya. , 216-219 13. Carl Levenson & Jonathan Westphal (ed), , (Hackett Publishing Reality Company: Indianapolis, 1994), hlm. xi-xx. Bdk. Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, hlm. 50-58 14. 'Substansi', berasal dari bahasa Latin (bahan, hakekat, zat, isi); substantia dari (di bawah) dan (berdiri atau berada). Tidak mudah sub stare mendefinisikan secara pasti apa yang disebut dengan substansi, karena memang sejak awal istilah ini sudah mengacu pada banyak hal yang mirip sehingga sulit dipastikan secara tepat. Namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa substansi mengacu pada 'inti'/ 'hakekat' dari sesuatu. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa 'inti' tersebut dapat dibayangkan secara material sehingga dimungkinkan untuk dipahami 451 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran ditangkap. Lih. Bagus, , hlm. 1051-1052. Bdk. Hardiman, Kamus Filsafat Melampaui Positivisme dan Modernitas, hlm. 51 15. Lih. sub bab “Presensi dan Absensi” pada bab sebelumnya. 16. Misalnya, apa yang kini dipahami sebagai rasionalitas adalah “the continuous adaptation of our language to our continually expanding 'world' due to the dialogue.” Lih., Bambang, “Logos Without Substance: Wisdom as Seeing Through the Absence”, dalam , Vol. Dialogue and Universalisme XV, No. 1-2/2005, hlm. 157-164 17. Ibid. 18. Lih. Peter Jonkers, “God In France, Heidegger's Legacy” dalam Jongker ., , hlm. 2. Heuristik ini, misalnya, mencoba et all God in France untuk menggunakan ide-ide agama dalam menerangi persoalanpersoalan filosofis, atau sebaliknya. 19. Meskipun beberapa pemikir itu menggunakan fenomenologi Husserlian dalam berfilsafat namun mereka tidak sampai jatuh pada atheisme (sebagaimana Husserl), melainkan menarik fenomenologi ke titik yang paling radikal dan menggunakan ide-ide religius untuk berfilsafat. Emmanuel Levinas, misalnya, menggunakan ide-ide Perjanjian Lama untuk sampai pada “the other”. Jean-Luc Marion menggunakan konsep dalam kristianitas purba tentang “idol” dan “icon” untuk menerangi permasalahan teologi. 20. Derrida menandaskan perlunya bahasa sebagai sebuah “dinamisme asali” ( ). Dalam dinamisme asali ini setiap kata pada original dynamism akhirnya bisa dibebaskan dari segala ketersembunyian onto-theologi yang berlaku. Dengan demikian segala bentukan bahasa menjadi sebuah proses 'asali' atau sebuah proses yang 'telah ditetapkan' – dan pada akhirnya ini adalah sebuah proses yang menghapus setiap ide mengenai 'asli', 'awal', atau 'prinsip'. Lih. Rico Sneller, “God as War, Derrida On Divine Violance”, dalam Jongker ., , hlm. et all God in France 163-164 21. Schillebeeckx, , hlm. 73; 'Fideisme' adalah God the Future of Man kecenderungan untuk merendahkan peranan akal budi dalam menguji tuntutan keagamaan dan terlalu menekankan keputusan-bebas iman; sedangkan teologi natural persis kebalikan dari Fideisme. 22. , hlm. 70 Ibid. 23. Persoalannya adalah saat kehadiran Allah hanyalah perkara interiotas hati masing-masing manusia, teologi dan juga religiusitas kehilangan otentifikasi dirinya karena kita tidak lagi bisa menjadikan persoalan Allah menjadi persoalan yang terbuka, yang dialogis serta juga perlu disadari bahwa dalam interioritas yang sama itu juga tersimpan hasrat- 452 MELINTAS 23.3.2008 hasrat berbahaya manusia sendiri. Lih. Peter Jonkers, “God In France, Heidegger's Legacy” dalam Jongker ., , hlm. 22 et all God in France 24. Schillebeeckx, , hlm. 72 God the Future of Man. 25. Ibid. 26. , hlm. 82 Ibid. 27. Ibid. 28. , hlm. 82-83. Bdk. Bradley, Ibid. Negative Theology and Modern French Philosophy, hlm. 216-219, menjelaskan bahwa usulan Derrida mengenai Teologi Negatif yang dibaca secara berbeda berujung pada sebuah pendasaran hospitalitas yang radikal ( ), kongkretnya dalam hostipitality persoalan suaka, imigrasi, dsb. 29. Mungkin refleksi hening yang panjang dari teologi ini terlukiskan dalam kalimat terkenal George Saferis, pemenang Nobel Sastra tahun 1963 berikut: “untuk mengatakan apa yang ingin kau katakan, engkau harus melahirkan bahasa sendiri, dan menyusuinya bertahun-tahun dengan apa yang kau cinta, dengan segala yang telah menghilang darimu, dengan segala apa yang tak mungkin kau dapat kembali.” Atau dalam bahasa lainnya “pelanggaran” metodologis, sebuah hereustik. 30. Ide mengenai ini diambil dari “Menjelajah Keheningan: reflection space Salib Yesus dalam Film” yang ditulis oleh Haryo Tejo Bawono dalam Salib: Simbol Teror, Teror Simbol – Kajian Multidimensi, ed. Bambang Sugiharto & Harimanto Suryanugraha, (Bandung: SangKris, 2003), hlm. 127-134 31. Thiselton, , hlm. 123 New Horizon 32. Schillebeeckx, , hlm. 76 God the Future of Man 33. Ibid. 34. ide utama dalam sub bab ini diinspirasikan dari tulisan Bambang Sugiharto, “Salib: Lubang Hitam Spiritualitas”, dalam Salib: Simbol Teror, Teror Simbol – Kajian Multidimensi, ed. Bambang Sugiharto & Harimanto Suryanugraha, (Bandung: SangKris, 2003), hlm. 162-173 35. Maksud dari supernatural dan superhuman ini bukanlah dimensidimensi yang melebihi manusia dan kodratnya, namun dalam arti dimensi-dimensi diluar katagori-katagori natural dan manusiawi yang sebelumnya telah dirasionalisasikan dengan rasionalitas. 36. Thiselton, , hlm. 122. New Horizon 37. , hlm. 119 Ibid. 38. Ibid. 39. , hlm. 121-122 Ibid. 40. Jean-Luc Marion, , terj. Stephen Lewis, (New Prologomena to Charity York: Fordham University Press, 2002), hlm. 71 453 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran 41. hlm. 168 Ibid., 42. Marion, , hlm. 47 God Without Being 43. Bdk. John D. Caputo, , terj. Martin Agama Cinta, Agama Masa Depan Lukito Sinaga, (Bandung: Mizan, 2001), hlm 5-7: cinta adalah sebentuk pemberian yang sepenuhnya, suatu komitmen 'tanpa syarat', yang menandai cinta dengan semacam ekses tertentu. Untuk selanjutnya disingkat Caputo, . Bdk., Julia Kristeva, “In the Beginning Agama Cinta was Love”, dalam , ed. Graham The Postmodern God: A Theological Reader Ward, (Massachusetts: Blackwell Publisher, 1997), hlm. 224; selanjutnya disingkat The Postmodern God 44. Marion, , hlm. 48. Oleh karena itu, menurut Marion God Without Being cinta bukanlah idol, melainkan ikon. Yang membedakan antara idol dan ikon adalah jalan referensialitasnya, dimana idol tidak mereferensi ke realitas yang lain selain dirinya, “melihat adalah mengetahui”, sedangkan ikon memiliki referensi untuk beranjak ke realitas yang lain, bahkan yang diluar dirinya sendiri. Lih. Marion, , hlm. God Without Being 7-9, 17-18. Atau dengan menggunakan pengibaratan ini: idol adalah sebuah aktivitas bercermin, dimana yang terlihat di dalamnya tiada lain daripada diri kita sendiri, pengobyektifikasian diri; sedangkan ikon itu adalah sebuah aktivitas menatap cakrawala, dimana tiada proses pengobyektivikasian, yang ada adalah pengluasan penglihatan. Bagi Marion cinta adalah “fenomena penuh” ( ) karena saturated phenomenon cinta memiliki karakter surplus, sebuah karakter yang membuat cinta sulit untuk dipahami bukan karena kekurangannya namun justru karena kelebihannya. Lih. Ruud Welten, “The Paradox of God's Appearance, On Jean-Luc Marion”, dalam Jongker ., , et all God in France hlm. 191-192, 198-200 45. Caputo, , hlm. 7; Bdk., dengan penelusuran Kristeva dari Agama Cinta wilayah psikologi dan tafsir atas kata “Credo” yang berujung pada muara yang sama. Lih., Julia Kristeva, “In the Beginning was Love”, dalam , hlm. 223-226 The Postmodern God 46. , hlm. 10 Ibid. 47 , hlm. 140; Bdk. Marion, , hlm. 107; Bdk. Caputo Ibid. God Without Being et al. God, the Gift, and Postmodernism , , hlm. 3 48. Bradley, Negative Theology and Modern French Philosophy, hlm. 49 49. , 95-104 Ibid. 50. Dalam perdebatan dengan Derrida, berkaitan dengan teologi negatif, Marion menggunakan contoh yang diberikan oleh Dionysius untuk menggambarkan pelampauan afirmasi dan negasi sebagai berikut: 454 MELINTAS 23.3.2008 “God is essence” – affirmation! “God is not essence” – negation ( )!; abdicatio superessensialis “God is superessensial” ( ) – both affirmation and negation! One who asserts God to be superessensial ( ) does not say what he is, but what he is not, for he superessensialis declare he is not essence, but more than essence. Namun dalam contoh yang diberikan ini, sisi negativitasnya masih kental terasa. Lih. Caputo et al God, the Gift, and Postmodernisme, ., hlm. 28. Dalam artikel lain Derrida menyadari adanya nuansa negativitas tanpa negativitas dalam kata “without”, ini tercermin dengan jelas dalam ungkapan St. Agustinus (“God is wise wisdom, good goodness, without without powerfull power without ”) atau ungkapan St. Bernardus (“To Love God is a mode a mode without ”). Lih., Jacques Derrida, “How to Avoid Speaking”, dalam , hlm. 171 The Postmodern God 51. Model penyilangan ini bukanlah suatu hal yang baru. Bila mau ditelusuri ke belakang, ada dua tokoh yang mempengaruhi model penyilangan ini, yaitu Husserl dan Heidegger. Fenomenologi Husserl menggunakan 2 (dua) metode: , metode positif; yaitu metode pertama yang menekankan “kembali ke bendanya sendiri” ( ) zu den Sachen selbst untuk melepaskan pikiran dari hal-hal yang dianggap ideal, tetapi tidak menyentuh realitas. , metode negatif yaitu metode pertanyaan Kedua kualitatif terhadap berbagai obyek yang kekurangan pengandaian secara mutlak ( ). Mirip dengan skeptisisme Voraussetzungslosigkeit Descartes, tetapi lebih menekankan kualitas pertanyaan terhadap obyek. Dua metode ini kemudian terkait erat dengan metode “menyilang kata yang tak memadai” dari Heidegger. “Menyilang” sebuah kata berarti mereduksi kata dengan menempatkannya dalam tanda kurung ( ) atau memberi kata Einklammerung “X” pada kata yang mau ditunda. Hussrel menggunakan gaya ini dalam rangka mencapai obyek pengertian kata sesuai dengan aslinya dan sebersih-bersihnya. Einklammerung tidak bermakna menolak atau tidak menghargai, tetapi bermaksud menunda atau menangguhkan sementara suatu kata/obyek yang tidak memadai. Metode “menyilang kata” itu sering digunakan Heidegger karena ada kata yang dianggap tidak memadai dan belum dibutuhkan. Misalnya kata . Kata yang disilang itu Being dibiarkan saja terus hingga maknanya terhapus dan tidak lagi mengacu ke sesuatu atau ke seseorang yang sebelumnya telah mengendap di kepala. Sebetulnya, konsep “menyilang kata” atau dari Einklammerung Heidegger dan metode negatif serta positif dari Hussrel, di kemudian hari dipadukan oleh Derrida untuk merumuskan cara kerja . Différ nce a Intinya sama, yaitu bermaksud menunda atau menangguhkan 455 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran sementara suatu kata/obyek yang tidak memadai. Lih. Jacques Derrida, Off Spirit: Heidegger and the Question, terj. Firmansyah Agus, (Yogyakarta: Jalasutra, 2002), hlm. 48-50 52. Marion, , hlm. 23 God Without Being 53. Umumnya ada 2 jalan untuk bisa mengenal Allah: sebab ada (1) keterarahan fundamental manusia kepada Nan Mutlak; dan (2) ada aneka tradisi religius mengenai perjumpaan manusia dengan Allah. Namun meski tersedia jalan demikian, Allah tetap misteri. Lih Jacobs, Paham Allah, hlm. 269 54. , hlm. 270 Ibid. 55. Ibid. 56. , hlm. 271 Ibid. 57. Ibid. 58. Caputo ., hlm. 41-42 et al God, the Gift, and Postmodernisme, 59. Johan Goud, “This Extraordinary Word. Emmanuel Levinas on God” dalam Jongker ., , hlm. 115 et all God in France 60. , hlm. 114 Ibid. 61. Lihat pembahasan tetang cinta dalam sub bab “Labirin Berujung Cinta” dalam Bab ini 62. Ada ambiguitas di sini: “jejak” Allah menandakan ketidakhadiran mutlak: Allah adalah enigma yang menghancurkan segala permainan yang ada, yang tak pernah bisa ditangkap, ketidakhadiran yang tidak pernah bisa diketahui, tidak pernah bisa digauli secara langsung, GIF 114. Inilah mengapa Levinas mencirikan ambiguitas transendensi Allah, dan dengan ambiguitas inilah Allah hadir. Johan Goud, “This Extraordinary Word. Emmanuel Levinas on God” dalam Jongker et all God in France ., , hlm. 98 63. , hlm. 113 Ibid. 64. Ibid. 65. Disinilah titik temu antara konsep Allah dengan konsep cinta. Ibid. Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab “Labirin Berujung Cinta”, bahwa cinta memiliki ciri untuk memberi, terus menerus terus menerus terbuka. 66. Fenomenologi adalah nama untuk sebuah filsafat yang memiliki perhatian pada benda-benda yang tampak ( ), namun appearance of things Michel Henry tidak hanya memberikan perhatian pada benda-benda yang tampak melainkan juga pewahyuan ( ). Oleh karena itu revelation fenomenologi Henry tidak lagi berkonsentrasi pada benda-benda duniawi yang terlihat, tapi pada kesatuan dengan Allah (yaitu wahyu), sesuatu yang tetap tak terlihat dari sudut pandang dunia. Lih. Ruud 456 MELINTAS 23.3.2008 Welten, “God Is Life, On Michel Henry's Arch-Christianity”, dalam Jongker ., , hlm. 119-122 et all God in France 67. Menurut Henry, fenomenologi memiliki kaitan intrinsik dengan teologi karena keduanya memberikan perhatian revelasi. Terma-terma seperti , , , , dan 'showing' 'manifestation' 'revelation' 'givenness' 'apparation' adalah sesuatu yang substansial baik bagi fenomenologi maupun teologi. Berdasarkan kaitan substansial inilah, tidak ada perbedaan intrinsik antara revelasi (teologis) dan (manifestasi) fenomenologis karena kedua-duanya berurusan dengan makna dan struktur manifestasi. Manifestasi adalah revelasi dan . ., hlm. 120-121 vice versa Ibid 68. ., hlm. 124 Ibid 69. ., hlm. 122-126 Ibid 70. Boleh dikatakan bahwa sebagaimana cinta, pasi juga bisa dicirikan sebagai “fenomena penuh” ( ) karena saturated phenomenon ketidakmampuannya untuk direduksi justru karena ia adalah manifestasi-diri yang murni. Daftar Pustaka : 1. Bagus, Lorens, , Jakarta: Gramedia, 2000, cet II. Kamus Filsafat 2. Bradley, Arthur, Negative Theology and Modern French Philosophy, London & New York: Routledge, 2004 3. Caputo, john D. et al (ed), , Blooming & God, the Gift, and Postmodernisme Indianapolis: Indiana University Press, 1999. ________., , Martin Lukito Agama Cinta, Agama Masa Depan terj. Sinaga, Bandung: Mizan, 2001. 4. Hardiman, F. Budi, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, Jakarta: Gramedia, 2003. 5. Jongkers, Peter & Ruud Welten ( ), eds. God in France: Eight Contemporary French Thinkers on God, Belgium: Peeters, 2005. 6. LEVENSON,Carl. et al, , Indianapolis: Hackett Publishing Reality Company, 1994. 7. MARION, Jean-Luc, , Thomas A. God Without Being: hors-texte terj. Carlson, Chicago: The University of Chicago Press, 1991. 8. O'COLLINS, Gerald & Edward G. Farrugia, , Kamus Teologi Yogyakarta: Kanisius, 1996. 9. SCHILLEBEECKX, E., , N.D. Smith, God the Future of Man terj. New York: Sheed and Ward, 1968. 10. SUGIHARTO, Bambang, “Logos Without Substance: Wisdom as 457 Haryo Tejo Bawono: Teologi Absensia: Sebuah Tawaran Seeing Through the Absence”, dalam , Vol. Dialogue and Universalisme XV, No. 1-2/2005, hlm. 157-164 __________, “Salib: Lubang Hitam Spiritualitas”, dalam dalam Salib: Simbol Teror, Teror Simbol – Kajian Multidimensi, Bambang Sugiharto & Harimanto Suryanugraha ( ), Bandung: SangKris, 2003. eds. 11. THISELTON, Anthony C., , Michagan: New Horizon in Hermeneutics Zondervan Publishing House, 1992. 12. WARD, Graham, (ed) , , The Postmodern God: A Theological Reader Massachusetts: Blackwell Publisher, 1997 458 MELINTAS 23.3.2008

Mereka yang Selalu Salah: Gaza dan Logika Penindas

Penulis :

5 August 2014

gaza1
Perang selamanya adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang, kata Tuan Tèlinga.
Tidak,Tuan Tèlinga Marais membantah, tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan-perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini…ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga dari pada hanya mati, hidup, atau kalah-menang
Aceh takkan mungkin menang.
Justru karena itu, Tuan. Aceh sendiri tahu pasti akan kalah. Belanda juga tahu pasti akan menang. Namun, Tuan, mereka berperang bukan untuk menang. Berbeda dari Belanda. Sekiranya dia tahu Aceh sama kuat dengan dirinya, dia takkan berani menyerang, apalagi membuka medan-perang.
KUTIPAN percakapan dari roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer tersebut menuturkan obrolan tentang perang Aceh di penghujung abad ke-19. Perdebatan antara Tuan Tèlinga, si Belanda mantan prajurit VOC dan Jean Marais, mantan serdadu asal Perancis yang pernah berperang di Aceh untuk Belanda, ibarat analogi yang menggambarkan konteks invasi besar-besaran Israel ke Gaza saat ini. Situs berita Israel, Haaretz, tanggal 28 Juli lalu mengungkapkan bahwa hingga Hari Raya Idul Fitri kemarin, sudah lebih dari seribu penduduk Gaza tewas oleh rangkaian serangan Israel terbaru. Tentu rakyat Palestina takkan menang dari kecanggihan militer Israel hanya dengan roket dan batu. Kenapa Palestina tetap melawan? Apakah ‘terorisme’ dari anak-anak intifadah dan letusan sesekali dari bom dan roket Palestina ke pemukiman Israel adalah sebuah kebodohan, provokasi, dan bunuh diri di hadapan Israel? Lantas satu pertanyaan kerap terlupa dari rangkaian narasi sejarah panjang yang non linear; bagaimana dengan represi, genosida, dan diskriminasi rasial terhadap rakyat Palestina yang telah berlangsung sistematik dan massif sejak berdirinya Israel tahun 1948?
Kutipan dari Bumi Manusia itu juga mengingatkan saya pada alasan kenapa Edward Said, dalam sebuah memoarnya, berkisah tentang momen intifadah personalnya. Saat berkunjung ke tanah kelahirannya, Palestina, beserta keluarganya, ia melempar batu ke arah pagar pembatas yang didirikan Israel. Sebuah aksi simbolik dari apa yang selama hidupnya ia perjuangkan habis-habisan; kebebasan Palestina.
Sebagai tempat suci bagi ketiga agama samawi – Yahudi, Kristen, dan Islam – konflik dan pertumpahan darah di Palestina tak terelakkan kerap menggunakan legitimasi agama sebagai identitas kolektif yang sifatnya primordial. Ini menjadi bahan bakar para pihak yang bertikai untuk bertahan sekaligus memiliki konsekuensi yang tak terhindarkan, stigma ekstrimis dan terorisme agama menyelubungi persoalan kemanusiaan mendasar. Tentu, aksi membunuh warga sipil Israel yang dilakukan milisi Palestina tetap tidak bisa dibenarkan. Namun, tidak ada skala masif yang bisa ditandingi dari serangkaian pembantaian massal militer Israel terhadap warga sipil Palestina, sejak berdirinya negara Israel dan hingga kini di Gaza. Secara hukum internasional, Israel telah melakukan genosida karena telah memenuhi unsur kejahatan terhadap kemanusiaan yang sistematik, meluas, dan dengan intensi jelas untuk menghapus target populasi yang spesifik dalam satu wilayah, termasuk menyerang rumah sakit dan sekolah. Istilah genosida tersebut bahkan pernah diberikan oleh PBB, saat Israel mengepung kamp pengungsi Palestina di Lebanon tahun 1982, sebagai apa yang dikenal dengan pembantaian Sabra-Shatila. Saat itu, Israel menggunakan milisi Lebanon untuk merangsek masuk ke pemukiman warga sipil Palestina tak bersenjata dan dengan tanpa ampun membunuhi mereka dengan alat-alat tajam tanpa terkecuali – orang tua, perempuan hamil, anak-anak – dalam pengawasan dan sokongan militer Israel.
Dalam narasi hegemoni penindas, sejak 1948 hingga tragedi Gaza yang masih berlangsung saat ini, Palestina selalu menjadi pihak yang disalahkan, atau setidaknya begitulah opini publik yang kerap dibentuk oleh para politisi dan media-media arus utama, terutama di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Eropa. Mereka salah karena mereka lemah, kecil, dan tak berdaya, namun ‘berani-berani’nya melawan. Beraninya mereka menjadi putus asa sehingga melakukan bom bunuh diri. Beraninya mereka melawan tank hanya dengan batu. Beraninya mereka mengirim roket ke warga sipil Israel yang tak berdosa. Maka rasakan akibatnya, militer Israel merangsek tanpa ampun. Logika penindas ini kerap diamini oleh publik karena mempertahankan ilusi penguasa lebih mudah ketimbang harus membongkar ulang realita yang menyesakkan dada. Cara berpikir menyalahkan korban – kadang pun korban dianggap pelaku, provokator, atau kaum yang layak ditindas – sebenarnya tak asing lagi dalam masyarakat yang terfragmentasi oleh kerangka hegemoni yang dikonstruksi maupun dibatasi oleh media yang parsial, kultur patriarki, konsumerisme dan kapitalisme, serta kebijakan politik.

gaza2Photo by Presstv.ir

Logika penindas semacam ini selalu menempatkan pihak yang tertindas sebagai Yang Liyan dan karenanya seperangkat stigma pun dibebankan kepadanya. Salah satu contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari adalah betapa mudahnya kita menyalahkan perempuan ketika ada kasus perkosaan. Meski terkesan perbandingan yang sekonyong-konyong, namun relevan untuk direfleksikan: apa bedanya menyalahkan seorang Rachel Corrie – warga Amerika Serikat yang tewas tahun 2003 akibat dirangsek oleh buldozer Israel karena mempertahankan rumah penduduk Palestina – dengan misalnya, menyalahkan seorang perempuan yang diperkosa karena pulang malam dengan mengenakan rok di atas lutut?
Bagi Rachel Corrie, caranya berdiri di depan rumah yang hendak diluluhlantakkan Israel sama provokatifnya dengan perempuan yang pulang malam dengan rok pendek. Dalam relasi timpang itu, ada harapan yang mundur ke masa lalu; korban disesalkan karena seharusnya lebih mampu mempertahankan atau menjaga diri. Pertanyaan serupa juga ditanyakan kepada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT): jika sudah tahu suaminya suka memukul, kenapa harus membuat suami marah?
Buldozer Israel, pelaku pemerkosa dan KDRT sama-sama memiliki impunitas dari kejahatan yang dilakukannya, karena keduanya adalah simbol kekuasaan dan kekuatan. Perang adalah maskulin. Penetrasi paksa adalah alat penaklukkan. Logika penindas semacam ini telah menjadi paradigma kehidupan sehari-hari tentang bagaimana publik memaknai relasi ketidakadilan dalam konteks memaklumi impunitas. Wajah ketidakadilan global pun diperhalus melalui konsumerisme dalam rantai kapitalisme. Kita perlahan kehilangan keterhubungan dan solidaritas bersama karena kita membeli produk tanpa kita ketahui asal muasalnya, yang mungkin hasil dari buruh miskin di Bangladesh atau hasil keuntungan perusahaannya digunakan untuk mendukung rezim apartheid seperti yang pernah terjadi di Afrika Selatan dan kini di Israel.
Oleh karena itu, simbol resistensi menjadi tak terelakkan. Dia tak dicipta semata oleh intensi heroisme, melainkan altruisme insidental. Itulah yang dilakukan Rachel Corrie saat ia memutuskan untuk berdiri menghadap buldozer Israel. Ia tak punya kekuatan magis dan politik untuk menghentikan raksasa itu, dan ia tahu nyawanya tak berarti dihadapan Israel, tapi ia tetap berdiri di hadapannya. Menjemput maut, tapi ia meyakini simbolitas perjuangannya memuat pesan mendalam yang takkan hilang saat rumah-rumah yang ia bela dihancurkan. Ia tetap berdiri di tengah narasi kuasa. Logika penindas menjadi dominan karena antagonisme tak hendak muncul. Relasi yang ada dianggap sesuatu yang sudah final dan objektif. Seperti halnya krisis Gaza, lebih mudah menyalahkan pihak yang sudah divonis kalah ketimbang membongkar praktik ketidakadilan di balik tuntutan untuk selalu melihat dengan objektif dan berimbang – meski jendela objektivitas tersebut telah dibentuk menjadi tidak proporsional dan ahistoris.
Pada tahun 2010, Israel secara ilegal menyerang sekelompok kapal di bawah nama ‘Freedom Flotilla’. Kapal-kapal tersebut mengangkut aktivis perdamaian dan kemanusiaan dari berbagai belahan dunia di laut Mediterania yang masih berstatus perairan internasional. Sekelompok kapal tersebut hendak menerobos blokade Israel terhadap Gaza, untuk menunjukkan protes damai mereka dan seruan agar mengakhiri krisis di Gaza. Tokoh dunia seperti Desmond Tutu dan Noam Chomsky, turut memberi dukungan terhadap Freedom Flotilla. Namun, aksi tersebut dibalas Israel dengan serbuan militer, penangkapan para aktivis dan ekstradisi. ‘Kekalahan’ mereka, jika ingin dianggap begitu, diklaim Israel sebagai kesalahan karena mengancam kedaulatan negara mereka oleh ‘potensi terorisme’ – meski jelas tidak ada alat tajam dan senjata yang dibawa oleh para aktivis Freedom Flotilla. Insiden tersebut, meski secara riil gagal menembus blokade atas Gaza, merupakan sinyalemen kebangkitan suara global yang lebih terbuka dan kritis terhadap kolonialisme Israel di Palestina.
Pada titik simbolitas itulah, meski coba dihabisi mati-matian oleh Israel dengan segenap gegap gempita teknologi militernya, rakyat Palestina dan warga dunia lainnya yang berdiri atas nama kemanusiaan terus mereproduksi hegemoni, yaitu apa yang dimaknai Laclau dan Mouffe sebagai cara membuat elemen partikular mampu mengonstruksi tuntutan menjadi universal. Dengan adanya media sosial, aksi global, serta liputan jurnalistik yang menyuarakan persoalan kemanusiaan di Palestina, muncul publik yang secara radikal berdaya untuk mengkontestasi segala bentuk kekuasaan terpusat. Narasi dominan bahwa konflik di Palestina adalah upaya membela diri Israel dari serangan teroris dan ancaman demografis etnis Arab di Palestina, kini ditantang secara terbuka oleh narasi yang lebih plural, emansipatoris tapi juga radikal; ini juga soal rasisme, impunitas terorisme negara di muka para organisasi internasional yang paham hukum internasional, kolonialisme modern, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Upaya membangun hegemoni ini sebagai bentuk masyarakat sipil membangun kekuatan politiknya melawan rezim penindas mungkin belum memiliki dampak transformatif atau ekspansif, tetapi perlahan membongkar ilusi dari batasan objektivitas dan struktur yang dianggap final.
Publik dunia dihadapkan pada realitas bahwa formasi identitas dan subjektivitas politik bukanlah tunggal. Palestina bukan representasi semata Arab, Islam, dan teroris. Israel bukan representasi semata korban Holocaust dan Yahudi. Di dalam tarung diskursus itupun bermunculan realitas jamak yang selalu bergerumul mencari posisinya dalam kuasa dan praktek-praktek demokrasi global. Mereka adalah para syekh, pendeta, dan rabbi yang bersitatap di lorong-lorong Yerusalem tanpa permusuhan. Mereka adalah para budayawan, seniman, dan intelektual yang sama-sama lahir di tanah Palestina, meski secara warga negara mereka dipisahkan oleh status Israel atau Palestina, lahir dari darah Eropa, Arab, atau Afrika. Mereka adalah para penutur yang tak kenal lelah bersuara untuk perdamaian. Dinamika ini menunjukkan bahwa identitas, seperti halnya klaim kebenaran, tidaklah hitam putih dan tunggal. Membuka tafsiran pada keberagaman juga memberi ruang yang lebih kritis dan adil terhadap suara-suara yang tertindas di balik narasi dan represi Israel.
Begitu pula dengan Edward Said, saat ia melempar batu ke pagar pembatas. Ia tahu batu itu takkan ke mana, tapi ia mencipta sebuah simbol untuk dirinya sendiri. Di dunia yang diselimuti impunitas, simbol adalah pencuri perhatian yang menggelisahkan dan hendak mengetuk nurani bersama, meski seseorang harus mati tanpa pernah berhasil mencapai keadilan. Dalam gempuran tanpa ampun di Gaza, matinya ratusan anak-anak dan perempuan dengan tubuh remuk dan terburai bukanlah soal menjadi salah atau benar. Seperti kata pepatah, bersikap netral saat terjadi ketidakadilan berarti mendukung ketidakadilan. Mereka tak salah lahir di Gaza, melainkan seperti kata Jean Marais dalam ‘Bumi Manusia’, ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga dari pada hanya mati, hidup, atau kalah-menang – yaitu menjadi manusia, tak lebih rendah dan tak lebih tinggi dari itu.***


 SUMBER :http://indoprogress.com/2014/08/mereka-yang-selalu-salah-gaza-dan-logika-penindas/



Konsep Manusia Menurut Leon Trotsky


Konsep Manusia Menurut Leon Trotsky


bagan isman2
Tulisan ini merupakan cuplikan dan ringkasan dari buku dengan judul “Trotskyisme: Jalan Menuju Revolusi Sosialisme Sedunia” (buku yang hingga saat ini masih dalam proses pengerjaan oleh penulisnya). Tulisan ini dipublikasi di media online—website PEMBEBASAN dengan harapan mendapatkan kritik, masukan dan bahkan sanggahan. Kritik, masukan dan sanggahan dari kawan-kawan akan menjadi bahan baku dialektis dalam proses penyelesaian buku “Trotskyisme” ini.
Pada hakekatnya manusia adalah materi hidup yang independen. Dengan kata lain, manusia memiliki kemerdekaan dan kemandirian untuk menentukan dan membentuk sejarahnya sendiri. Namun, tidak berhenti sampai di sini; ketika manusia menentukan dan membentuk sejarahnya sendiri dia dibatasi oleh kondisi-kondisi sosial.
Dalam bahasa Marx, manusia tidak mungkin melepaskan diri dari transmisi masa lalu.
Rumusan konsep manusia yang penulis tunjukan tersebut adalah pantulan dari konsep manusia menurut Karl Marx. Marx sendiri dalam sebuah tulisannya, mangatakan:
“Manusia membuat sejarahnya sendiri, tetapi mereka tidak membuatnya tepat seperti yang mereka sukai; mereka tidak membuatnya dalam situasi-situasi yang dipilih oleh mereka sendiri, melainkan dalam situasi-situasi yang langsung mereka hadapi, ditentukan dan ditransmisikan dari masa lalu.”[1]
Jadi, ketika manusia mengada dalam proses membentuk dirinya atau sejarahnya sendiri, seketika itulah sesungguhnya manusia tengah memasuki proses kombinasi-dialektis antara kemerdekaan-kemandirian dan kondisi sosial (an sich![2]). Hal ini adalah ketentuan yang harus dialami oleh manusia. Tidak bisa tidak. Kombinasi ini tercermin dari adanya aksi dan interaksi, pengaruh dan mempengaruhi, saling merangsang dan merespon. Nah, ketika manusia melakukan aksi atau tindakan dan memberikan respon terhadap rangsangan yang datang dari luar, seketika itulah sesungguhnya manusia pada hakekatnya menunjukkan kemerdekaan dan kemandiriannya. Kemerdekaan dan kemandirian, yang menurut Marx, dibatasi oleh situasi-situasi yang tidak dipilih secara mandiri oleh manusia.
Rumusan Marx terhadap konsep manusia ini sebenarnya merupakan penerapan dari hukum materialisme-dialektika. Salah satu elemen dari hukum ini adalah, bahwa berbagai bentuk materi dalam perkembangannya akan saling mempengaruhi, saling menegasi, dan saling mengembangkan untuk memunculkan materi yang baru, materi yang juga akan mengalami perkembangan lebih lanjut, yang tunduk pada hukum yang melahirkannya itu. Demikian pula halnya yang dialami oleh manusia. Manusia dalam perkembangannya mengarah pada hubungan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kondisi sosialnya, menegasi dan dinegasi. Hal ini dilakukan oleh manusia untuk memunculkan kualitas hidup yang lebih baik.
Trotsky: 
“…pandangan utopian dan humantitarian-psikologis adalah bahwa ‘manusia baru’ haruslah dibentuk terlebih dahulu, dan lalu dia kemudian menciptakan kondisi-kondisi baru. Kita tidak boleh mempercayai ini…
Sebagai seorang Marxis—pengikut ajaran Karl Marx dan Engels, Lev Davidovich Bronstein (nama asli dari Leon Trotsky), dalam merumuskan konsep manusia tidak keluar dari rumusan yang dibuat oleh Karl Marx. Dalam sebuah tulisannya Trotsky mengatakan, bahwa “…manusia adalah produk dari kondisi-kondisi sosial.”[3] Itu artinya, Trotsky mengakui, kemerdekaan dan kemandirian atau keindependenan manusia dibatasi oleh kondisi sosialnya.
Karena manusia merupakan produk dari kondisi sosial, maka berangkat dari sini Leon Trotsky menolak dengan tegas asumsi yang mengatakan bahwa manusia dapat diciptakan sebagai materi hidup yang baru (fresh) tanpa ada pengaruh atau kontribusi dari kondisi sosialnya. Penolakan Trotsky ini dirumuskan dalam bentuk kata-kata sebagai berikut:
“Sering ditekankan kalau tugas pencerahan komunis adalah pendidikan manusia baru (huruf tebal ditambahkan oleh penulis). Kata-kata ini agak terlalu umum, terlalu menyedihkan (huruf tebal ditambahkan oleh penulis) … pandangan utopian dan humantitarian-psikologis adalah bahwa manusia baru haruslah dibentuk terlebih dahulu, dan lalu dia kemudian menciptakan kondisi-kondisi baru. Kita tidak boleh mempercayai ini (huruf tebal ditambahkan oleh penulis).”[4]
Tulisan dari Trotsky tersebut menunjukkan ketidakpercayaannya terhadap penciptaan manusia baru tanpa proses kombinasi-dialektis. Bagi Trotsky, tidak ada yang namanya manusia baru. Manusia dalam proses pembentukannya tidak dapat melepaskan dirinya dari masa lalu, dari peradaban yang telah dibentuk oleh manusia lainnya. Dalam bahasa Marx, manusia tidak mungkin melepaskan diri dari transmisi masa lalu.
Trotsky menunjukkan, Karl Marx dan Frederick Engels sendiri pun, adalah intelektual komunis yang tidak dapat melepaskan dirinya dari pengaruh kondisi budaya borjuis ketika mereka merumuskan berbagai teori yang berorientasi pada menegasikan kondisi budaya borjuis yang “mengepung” mereka itu. Lebih jauh lagi, Trotsky menunjukkan, justru karena adanya budaya borjuis itulah yang kemudian memunculkan adanya perlawanan dari Marx dan Engels. Secara tajam dapatlah dikatakan, tanpa adanya budaya borjuis tidak mungkin muncul perlawanan terhadap budaya borjuis.
Berikut ini penulis kutipkan tulisan Trotsky yang menunjukkan hal tersebut:
“Marx dan Engels muncul dari kondisi budaya borjuis kecil dan, tentu saja, dibesarkan dalam budayanya dan bukan dalam budaya proletar. Jika saja tidak ada kelas pekerja (kaum proletar) dengan aksi, perjuangan, penderitaan, dan pemberontakannya tentu saja tidak terdapat komunisme ilmiah, karena tidak akan ada kebutuhan sejarah untuknya. Tetapi teori ini  dibentuk penuh dalam dasar budaya borjuis, baik politis maupun ilmiah, meskipun teori tersebut mendeklarasikan perlawanannya untuk mengakhiri budaya tersebut. Di bawah kontradiksi-kontradiksi kapitalistik, pemikiran dari demokrasi borjuis yang universal tersebut, dari wakil-wakilnya yang paling berani, jujur, serta melihat ke depan, mencuat ke atas sebagai penolakan yang hebat, yang dilengkapi dengan seluruh senjata-senjata kritis yang berasal dari ilmu pengetahuan borjuis. Seperti itulah asal-usul Marxisme.”[5]
Materialisme-dialektika menolak teori tabula rasa dari intelektual borjuis, yang mengatakan, bahwa manusia pada hakekatnya putih-bersih (pasif).
Berangkat dari rumusan konsep manusia, dari Leon Trotsky, yang membatasi kemerdekaan dan kemandirian manusia dengan kondisi-kondisi sosial tersebut, orang dapat menyodorkan pertanyaan kepada Trotsky, sebagai berikut: “Karena manusia dalam menjalani hidupnya tidak bisa dilepaskan dari kondisi-kondisi sosial, apakah dengan demikian itu artinya manusia terikat kaki dan tangannya oleh kondisi sosial? Dan, jika iya, bukankah kemerdekaan dan kemandirian manusia hanyalah omong kosong belaka?”
Pertanyaan tersebut dijawab oleh Trotsky sebagai berikut:
“… antara manusia dan kondisi-kondisi sosial itu ada hubungan yang kompleks yang saling bekerja secara mutual dan aktif …”[6]
Adanya hubungan yang bersifat timbal-balik (mutual) atau saling mempengaruhi dalam interaksi antara manusia dan kondisi-kondisi sosialnya, yang ditunjukkan oleh Trotsky itu, orang seharusnya dapat menarik garis pemahaman, bahwa tidak mungkin manusia terikat kaki dan tangannya apabila manusia memiliki sifat yang aktif dalam mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kondisi sosialnya. Dengan kata lain yang lebih tegas, keaktifan yang bersifat timbal-balik itulah yang menunjukkan kalau manusia tidak terikat kaki dan tangannya. Manusia baru bisa dikatakan terikat kaki dan tangannya apabila manusia tidak aktif atau pasif ketika dipengaruhi oleh kondisi sosialnya.
Materialisme-dialektika menolak teori tabula rasa dari intelektual borjuis, yang mengatakan, bahwa manusia pada hakekatnya putih-bersih (pasif). Berangkat dari teori tabula rasa yang absurd inilah kemudian, lebih jauh intelektual borjuis menjelaskan, bahwa ketika manusia membentuk dan membangun dirinya, seketika itulah pada hakekatnya manusia tidak mandiri, karena dalam proses pembentukan dan pembangunan tersebut manusia semata-mata hanya menjadi “juru bicara-pasif” dari kondisi lingkungannya atau sosialnya. Dengan kata lain, manusia pasif dalam menerima pengaruh dari lingkungannya.
Materialisme-dialektika, sebagaimana telah penulis tunjukkan di muka, menempatkan manusia sebagai materi hidup yang aktif. Walau pun manusia tidak dapat dilepaskan dari kondisi-kondisi sosialnya, justru kondisi-kondisi sosial yang melingkupi proses kehidupan manusia itulah materi yang membuat manusia tidak terikat kaki-tangannya.
Berikut ini penulis tunjukkan contoh konkret hubungan timbal-balik antara manusia dan kondisi sosial, yang menunjukkan kebebasan dan kemandirian manusia, sebagai berikut ini:
Hubungan buruh-majikan dalam sistem ekonomi kapitalisme adalah pantulan dari hubungan antara manusia (buruh-majikan) dan kondisi sosial (sistem ekonomi kapitalisme). Dalam hubungan ini manusia yang bernama majikan adalah pihak yang mendapat sisi manisnya, karena melalui sistem ini majikan dapat memeras hasil kerja buruh, dan dari sini kemudian dia melakukan akumulasi kapital (penumpukan keuntungan—kekayaan). Sedangkan buruh adalah manusia yang mendapatkan sisi yang pahit, karena harus bekerja bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk majikan yang mempekerjakannya.
Kondisi atau hubungan sosial yang seperti itu jelas merugikan buruh. Kondisi sosial yang menindas kaum proletar inilah yang kemudian mendorong kaum proletar melakukan tindakan aktif dalam bentuk perlawanan. Dalam aksi perlawanan inilah sesungguhnya kaum proletar sedang berinteraksi secara timbal-balik dengan kondisi sosial, berusaha mempengaruhi kondisi sosial agar terjadi perubahan yang lebih baik. Demikian juga halnya dengan kaum kapitalis, dalam hubungan ini, dia berusaha untuk aktif mempertahankan kondisi sosial yang sedang berjalan, agar kapitalis dapat selalu berada pada sisi yang manis dalam sistem ini. Bentrokan dua kepentingan antar dua jenis manusia (buruh-majikan) inilah, yang menunjukkan dinamika hubungan manusia dan kondisi sosial. Dalam bahasa materialisme-dialektika materi-materi hidup selalu bergerak, saling menegasi (bentrok)—mempengaruhi, untuk memunculkan kualitas (kondisi sosial) yang berbeda dari sebelumnya.
Kaum proletar bukanlah manusia yang pasif—manusia yang terjatuh dalam dosa tabula rasa yang tidak dapat ditolak—tetapi manusia yang merdeka dan mandiri dalam mempengaruhi kondisi sosialnya.  Dengan demikian, ada hubungan timbal balik yang terpantul dalam kondisi ini. Demikian juga dengan kaum borjuis atau kapitalis. Kapitalis bukanlah manusia yang pasif-pasrah terhadap aksi dari kaum proletariat yang menginginkan perubahan, dengan berbagai strategi dan taktik yang licik kapitalis akan selalu berusaha untuk mempertahankan kondisi sosial yang menindas kaum proletar.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini penulis tunjukan skema hubungan timbal balik antara manusia dan kondisi sosial:
bagan isman
Skema tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Manusia adalah produk (ciptaan) dari kondisi sosial—sejarah/transmisi masa lalu. Namun, manusia juga merupakan agen perubahan. Manusia memiliki kemampuan untuk melakukan aksi untuk mendorong terjadinya perubahan kondisi sosial. Dari sini kemudian antara kondisi sosial yang lama dan yang baru berinteraksi-bentrok-saling melebur yang kemudian akan memunculkan hubungan sosial yang baru. Kemunculannya ini bisa bersifat negatif, namun dapat pula bersifat positif. Negatif, jika perubahan seosial itu semakin mengukuhkan keberadaan sang penindas. Positif, jika perubahan sosial itu menguntungkan pihak yang sebelumnya tertindas.
Dengan demikian, konsep manusia, menurut Leon Trotsky, di satu sisi adalah produk dari kondisi sosialnya, namun di sisi lain manusia adalah negasi dari kondisi sosialnya. Penegasian terhadap kondisi sosialnya inilah, yang dalam bentuk konkretnya mewujud dalam bentuk perjuangan kelas. “Jika manusia adalah sebagai produk dari kondisi sosialnya,” begitu kata Trotsky, “maka kaum revolusioner adalah sebuah produk dari kondisi sejarah tertentu.”[1] Kondisi sejarah tertentu, yang dimaksud oleh Trotsky adalah dalam arti tahapan kondisi dalam konteks perjuangan kelas.
Dalam konteks perjuangan kelas dalam zaman kapitalisme, bagaimana perjuangan dapat dimenangkan oleh proletar (kelas pekerja)? Dalam buku ini penulis akan menunjukkan ide-ide dari Leon Trotsky terkait dengan usaha kerasnya untuk memenangkan kelas pekerja ke arah pembangunan sosialisme dan masyarakat komunis sedunia.
———

[1] Leon Trotsky, “Tugas-Tugas Pendidikan Komunis (Versi Pendek—1922),” Op.cit.
[1] Karl Marx, “Brumaire XVIII Lous Bonaparte,” Penerjemah: Oey Hay Djoen, Hasta Mitra,  Jakarta, 2006. Halaman: 15.
[2] An Sich: Itu saja. Tidak ada yang lain. Muncul dengan sendirinya—independen, di luar rancangan, perencanaa, dan di luar kesadaran manusia.
[3] Leon Trotsky, “Tugas-Tugas Pendidikan Komunis (Versi Pendek—1922),” Penerjemah: Ted Sprague, www.marxist.org.
[4] Leon Trotsky, “Tugas-Tugas Pendidikan Komunis (Versi Pendek—1922),” Ibid.
[5] Leon Trotsky, “Apakah Budaya Proletar Itu, dan Mungkinkah Ada?” Penerjemah: Dewey Setiawan, www.marxis.org.
[6] Leon Trotsky, “Tugas-Tugas Pendidikan Komunis (Versi Pendek—1922),” Op.Cit.



sumber : http://pembebasan.org/konsep-manusia-menurut-leon-trotsky.html