Konsep Manusia Menurut Leon Trotsky
Tulisan ini merupakan cuplikan dan ringkasan dari buku dengan judul “Trotskyisme: Jalan Menuju Revolusi Sosialisme Sedunia”
(buku yang hingga saat ini masih dalam proses pengerjaan oleh
penulisnya). Tulisan ini dipublikasi di media online—website PEMBEBASAN
dengan harapan mendapatkan kritik, masukan dan bahkan sanggahan. Kritik,
masukan dan sanggahan dari kawan-kawan akan menjadi bahan baku
dialektis dalam proses penyelesaian buku “Trotskyisme” ini.
Pada hakekatnya manusia adalah materi
hidup yang independen. Dengan kata lain, manusia memiliki kemerdekaan
dan kemandirian untuk menentukan dan membentuk sejarahnya sendiri.
Namun, tidak berhenti sampai di sini; ketika manusia menentukan dan
membentuk sejarahnya sendiri dia dibatasi oleh kondisi-kondisi sosial.
Dalam bahasa Marx, manusia tidak mungkin melepaskan diri dari transmisi masa lalu.
Rumusan konsep manusia yang penulis
tunjukan tersebut adalah pantulan dari konsep manusia menurut Karl Marx.
Marx sendiri dalam sebuah tulisannya, mangatakan:
“Manusia membuat sejarahnya sendiri,
tetapi mereka tidak membuatnya tepat seperti yang mereka sukai; mereka
tidak membuatnya dalam situasi-situasi yang dipilih oleh mereka sendiri,
melainkan dalam situasi-situasi yang langsung mereka hadapi, ditentukan
dan ditransmisikan dari masa lalu.”[1]
Jadi, ketika manusia mengada
dalam proses membentuk dirinya atau sejarahnya sendiri, seketika itulah
sesungguhnya manusia tengah memasuki proses kombinasi-dialektis antara
kemerdekaan-kemandirian dan kondisi sosial (an sich![2]). Hal
ini adalah ketentuan yang harus dialami oleh manusia. Tidak bisa tidak.
Kombinasi ini tercermin dari adanya aksi dan interaksi, pengaruh dan
mempengaruhi, saling merangsang dan merespon. Nah, ketika manusia
melakukan aksi atau tindakan dan memberikan respon terhadap rangsangan
yang datang dari luar, seketika itulah sesungguhnya manusia pada
hakekatnya menunjukkan kemerdekaan dan kemandiriannya. Kemerdekaan dan
kemandirian, yang menurut Marx, dibatasi oleh situasi-situasi yang tidak
dipilih secara mandiri oleh manusia.
Rumusan Marx terhadap konsep manusia ini
sebenarnya merupakan penerapan dari hukum materialisme-dialektika. Salah
satu elemen dari hukum ini adalah, bahwa berbagai bentuk materi dalam
perkembangannya akan saling mempengaruhi, saling menegasi, dan saling
mengembangkan untuk memunculkan materi yang baru, materi yang juga akan
mengalami perkembangan lebih lanjut, yang tunduk pada hukum yang
melahirkannya itu. Demikian pula halnya yang dialami oleh manusia.
Manusia dalam perkembangannya mengarah pada hubungan mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh kondisi sosialnya, menegasi dan dinegasi. Hal ini
dilakukan oleh manusia untuk memunculkan kualitas hidup yang lebih baik.
Trotsky:“…pandangan utopian dan humantitarian-psikologis adalah bahwa ‘manusia baru’ haruslah dibentuk terlebih dahulu, dan lalu dia kemudian menciptakan kondisi-kondisi baru. Kita tidak boleh mempercayai ini…“
Sebagai seorang Marxis—pengikut ajaran
Karl Marx dan Engels, Lev Davidovich Bronstein (nama asli dari Leon
Trotsky), dalam merumuskan konsep manusia tidak keluar dari rumusan yang
dibuat oleh Karl Marx. Dalam sebuah tulisannya Trotsky mengatakan,
bahwa “…manusia adalah produk dari kondisi-kondisi sosial.”[3] Itu
artinya, Trotsky mengakui, kemerdekaan dan kemandirian atau
keindependenan manusia dibatasi oleh kondisi sosialnya.
Karena manusia merupakan produk dari
kondisi sosial, maka berangkat dari sini Leon Trotsky menolak dengan
tegas asumsi yang mengatakan bahwa manusia dapat diciptakan sebagai
materi hidup yang baru (fresh) tanpa ada pengaruh atau
kontribusi dari kondisi sosialnya. Penolakan Trotsky ini dirumuskan
dalam bentuk kata-kata sebagai berikut:
“Sering ditekankan kalau tugas pencerahan komunis adalah pendidikan manusia baru (huruf tebal ditambahkan oleh penulis). Kata-kata ini agak terlalu umum, terlalu menyedihkan
(huruf tebal ditambahkan oleh penulis) … pandangan utopian dan
humantitarian-psikologis adalah bahwa manusia baru haruslah dibentuk
terlebih dahulu, dan lalu dia kemudian menciptakan kondisi-kondisi baru.
Kita tidak boleh mempercayai ini (huruf tebal ditambahkan oleh penulis).”[4]
Tulisan dari Trotsky tersebut menunjukkan
ketidakpercayaannya terhadap penciptaan manusia baru tanpa proses
kombinasi-dialektis. Bagi Trotsky, tidak ada yang namanya manusia baru.
Manusia dalam proses pembentukannya tidak dapat melepaskan dirinya dari
masa lalu, dari peradaban yang telah dibentuk oleh manusia lainnya.
Dalam bahasa Marx, manusia tidak mungkin melepaskan diri dari transmisi
masa lalu.
Trotsky menunjukkan, Karl Marx dan
Frederick Engels sendiri pun, adalah intelektual komunis yang tidak
dapat melepaskan dirinya dari pengaruh kondisi budaya borjuis ketika
mereka merumuskan berbagai teori yang berorientasi pada menegasikan
kondisi budaya borjuis yang “mengepung” mereka itu. Lebih jauh lagi,
Trotsky menunjukkan, justru karena adanya budaya borjuis itulah yang
kemudian memunculkan adanya perlawanan dari Marx dan Engels. Secara
tajam dapatlah dikatakan, tanpa adanya budaya borjuis tidak mungkin
muncul perlawanan terhadap budaya borjuis.
Berikut ini penulis kutipkan tulisan Trotsky yang menunjukkan hal tersebut:
“Marx dan Engels muncul dari kondisi
budaya borjuis kecil dan, tentu saja, dibesarkan dalam budayanya dan
bukan dalam budaya proletar. Jika saja tidak ada kelas pekerja (kaum
proletar) dengan aksi, perjuangan, penderitaan, dan pemberontakannya
tentu saja tidak terdapat komunisme ilmiah, karena tidak akan ada
kebutuhan sejarah untuknya. Tetapi teori ini dibentuk penuh dalam dasar
budaya borjuis, baik politis maupun ilmiah, meskipun teori tersebut
mendeklarasikan perlawanannya untuk mengakhiri budaya tersebut. Di bawah
kontradiksi-kontradiksi kapitalistik, pemikiran dari demokrasi borjuis
yang universal tersebut, dari wakil-wakilnya yang paling berani, jujur,
serta melihat ke depan, mencuat ke atas sebagai penolakan yang hebat,
yang dilengkapi dengan seluruh senjata-senjata kritis yang berasal dari
ilmu pengetahuan borjuis. Seperti itulah asal-usul Marxisme.”[5]
Materialisme-dialektika menolak teori tabula rasa dari intelektual borjuis, yang mengatakan, bahwa manusia pada hakekatnya putih-bersih (pasif).
Berangkat dari rumusan konsep manusia,
dari Leon Trotsky, yang membatasi kemerdekaan dan kemandirian manusia
dengan kondisi-kondisi sosial tersebut, orang dapat menyodorkan
pertanyaan kepada Trotsky, sebagai berikut: “Karena manusia dalam
menjalani hidupnya tidak bisa dilepaskan dari kondisi-kondisi sosial,
apakah dengan demikian itu artinya manusia terikat kaki dan tangannya
oleh kondisi sosial? Dan, jika iya, bukankah kemerdekaan dan kemandirian
manusia hanyalah omong kosong belaka?”
Pertanyaan tersebut dijawab oleh Trotsky sebagai berikut:
“… antara manusia dan kondisi-kondisi sosial itu ada hubungan yang kompleks yang saling bekerja secara mutual dan aktif …”[6]
Adanya hubungan yang bersifat
timbal-balik (mutual) atau saling mempengaruhi dalam interaksi antara
manusia dan kondisi-kondisi sosialnya, yang ditunjukkan oleh Trotsky
itu, orang seharusnya dapat menarik garis pemahaman, bahwa tidak mungkin
manusia terikat kaki dan tangannya apabila manusia memiliki sifat yang
aktif dalam mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kondisi sosialnya. Dengan
kata lain yang lebih tegas, keaktifan yang bersifat timbal-balik itulah
yang menunjukkan kalau manusia tidak terikat kaki dan tangannya. Manusia
baru bisa dikatakan terikat kaki dan tangannya apabila manusia tidak
aktif atau pasif ketika dipengaruhi oleh kondisi sosialnya.
Materialisme-dialektika menolak teori
tabula rasa dari intelektual borjuis, yang mengatakan, bahwa manusia
pada hakekatnya putih-bersih (pasif). Berangkat dari teori tabula rasa
yang absurd inilah kemudian, lebih jauh intelektual borjuis menjelaskan,
bahwa ketika manusia membentuk dan membangun dirinya, seketika itulah
pada hakekatnya manusia tidak mandiri, karena dalam proses pembentukan
dan pembangunan tersebut manusia semata-mata hanya menjadi “juru
bicara-pasif” dari kondisi lingkungannya atau sosialnya. Dengan kata
lain, manusia pasif dalam menerima pengaruh dari lingkungannya.
Materialisme-dialektika, sebagaimana
telah penulis tunjukkan di muka, menempatkan manusia sebagai materi
hidup yang aktif. Walau pun manusia tidak dapat dilepaskan dari
kondisi-kondisi sosialnya, justru kondisi-kondisi sosial yang melingkupi
proses kehidupan manusia itulah materi yang membuat manusia tidak
terikat kaki-tangannya.
Berikut ini penulis tunjukkan contoh
konkret hubungan timbal-balik antara manusia dan kondisi sosial, yang
menunjukkan kebebasan dan kemandirian manusia, sebagai berikut ini:
Hubungan buruh-majikan dalam sistem
ekonomi kapitalisme adalah pantulan dari hubungan antara manusia
(buruh-majikan) dan kondisi sosial (sistem ekonomi kapitalisme). Dalam
hubungan ini manusia yang bernama majikan adalah pihak yang mendapat
sisi manisnya, karena melalui sistem ini majikan dapat memeras hasil
kerja buruh, dan dari sini kemudian dia melakukan akumulasi kapital
(penumpukan keuntungan—kekayaan). Sedangkan buruh adalah manusia yang
mendapatkan sisi yang pahit, karena harus bekerja bukan untuk dirinya
sendiri tetapi untuk majikan yang mempekerjakannya.
Kondisi atau hubungan sosial yang seperti
itu jelas merugikan buruh. Kondisi sosial yang menindas kaum proletar
inilah yang kemudian mendorong kaum proletar melakukan tindakan aktif
dalam bentuk perlawanan. Dalam aksi perlawanan inilah sesungguhnya kaum
proletar sedang berinteraksi secara timbal-balik dengan kondisi sosial,
berusaha mempengaruhi kondisi sosial agar terjadi perubahan yang lebih
baik. Demikian juga halnya dengan kaum kapitalis, dalam hubungan ini,
dia berusaha untuk aktif mempertahankan kondisi sosial yang sedang
berjalan, agar kapitalis dapat selalu berada pada sisi yang manis dalam
sistem ini. Bentrokan dua kepentingan antar dua jenis manusia
(buruh-majikan) inilah, yang menunjukkan dinamika hubungan manusia dan
kondisi sosial. Dalam bahasa materialisme-dialektika materi-materi hidup
selalu bergerak, saling menegasi (bentrok)—mempengaruhi, untuk
memunculkan kualitas (kondisi sosial) yang berbeda dari sebelumnya.
Kaum proletar bukanlah manusia yang
pasif—manusia yang terjatuh dalam dosa tabula rasa yang tidak dapat
ditolak—tetapi manusia yang merdeka dan mandiri dalam mempengaruhi
kondisi sosialnya. Dengan demikian, ada hubungan timbal balik yang
terpantul dalam kondisi ini. Demikian juga dengan kaum borjuis atau
kapitalis. Kapitalis bukanlah manusia yang pasif-pasrah terhadap aksi
dari kaum proletariat yang menginginkan perubahan, dengan berbagai
strategi dan taktik yang licik kapitalis akan selalu berusaha untuk
mempertahankan kondisi sosial yang menindas kaum proletar.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini penulis tunjukan skema hubungan timbal balik antara manusia dan kondisi sosial:
Skema tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Manusia adalah produk (ciptaan) dari
kondisi sosial—sejarah/transmisi masa lalu. Namun, manusia juga
merupakan agen perubahan. Manusia memiliki kemampuan untuk melakukan
aksi untuk mendorong terjadinya perubahan kondisi sosial. Dari sini
kemudian antara kondisi sosial yang lama dan yang baru
berinteraksi-bentrok-saling melebur yang kemudian akan memunculkan
hubungan sosial yang baru. Kemunculannya ini bisa bersifat negatif,
namun dapat pula bersifat positif. Negatif, jika perubahan seosial itu
semakin mengukuhkan keberadaan sang penindas. Positif, jika perubahan
sosial itu menguntungkan pihak yang sebelumnya tertindas.
Dengan demikian, konsep manusia, menurut
Leon Trotsky, di satu sisi adalah produk dari kondisi sosialnya, namun
di sisi lain manusia adalah negasi dari kondisi sosialnya. Penegasian
terhadap kondisi sosialnya inilah, yang dalam bentuk konkretnya mewujud
dalam bentuk perjuangan kelas. “Jika manusia adalah
sebagai produk dari kondisi sosialnya,” begitu kata Trotsky, “maka kaum
revolusioner adalah sebuah produk dari kondisi sejarah tertentu.”[1]
Kondisi sejarah tertentu, yang dimaksud oleh Trotsky adalah dalam arti
tahapan kondisi dalam konteks perjuangan kelas.
Dalam konteks perjuangan kelas dalam
zaman kapitalisme, bagaimana perjuangan dapat dimenangkan oleh proletar
(kelas pekerja)? Dalam buku ini penulis akan menunjukkan ide-ide dari
Leon Trotsky terkait dengan usaha kerasnya untuk memenangkan kelas
pekerja ke arah pembangunan sosialisme dan masyarakat komunis sedunia.
———
[1] Leon Trotsky, “Tugas-Tugas Pendidikan Komunis (Versi Pendek—1922),” Op.cit.
[1] Karl Marx, “Brumaire XVIII Lous Bonaparte,” Penerjemah: Oey Hay Djoen, Hasta Mitra, Jakarta, 2006. Halaman: 15.
[2] An Sich: Itu saja. Tidak ada yang
lain. Muncul dengan sendirinya—independen, di luar rancangan,
perencanaa, dan di luar kesadaran manusia.
[3] Leon Trotsky, “Tugas-Tugas Pendidikan Komunis (Versi Pendek—1922),” Penerjemah: Ted Sprague, www.marxist.org.
[4] Leon Trotsky, “Tugas-Tugas Pendidikan Komunis (Versi Pendek—1922),” Ibid.
[5] Leon Trotsky, “Apakah Budaya Proletar Itu, dan Mungkinkah Ada?” Penerjemah: Dewey Setiawan, www.marxis.org.
[6] Leon Trotsky, “Tugas-Tugas Pendidikan Komunis (Versi Pendek—1922),” Op.Cit.
sumber : http://pembebasan.org/konsep-manusia-menurut-leon-trotsky.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar