Jumat, 05 Juni 2015

Mereka yang Selalu Salah: Gaza dan Logika Penindas

Penulis :

5 August 2014

gaza1
Perang selamanya adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang, kata Tuan Tèlinga.
Tidak,Tuan Tèlinga Marais membantah, tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan-perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini…ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga dari pada hanya mati, hidup, atau kalah-menang
Aceh takkan mungkin menang.
Justru karena itu, Tuan. Aceh sendiri tahu pasti akan kalah. Belanda juga tahu pasti akan menang. Namun, Tuan, mereka berperang bukan untuk menang. Berbeda dari Belanda. Sekiranya dia tahu Aceh sama kuat dengan dirinya, dia takkan berani menyerang, apalagi membuka medan-perang.
KUTIPAN percakapan dari roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer tersebut menuturkan obrolan tentang perang Aceh di penghujung abad ke-19. Perdebatan antara Tuan Tèlinga, si Belanda mantan prajurit VOC dan Jean Marais, mantan serdadu asal Perancis yang pernah berperang di Aceh untuk Belanda, ibarat analogi yang menggambarkan konteks invasi besar-besaran Israel ke Gaza saat ini. Situs berita Israel, Haaretz, tanggal 28 Juli lalu mengungkapkan bahwa hingga Hari Raya Idul Fitri kemarin, sudah lebih dari seribu penduduk Gaza tewas oleh rangkaian serangan Israel terbaru. Tentu rakyat Palestina takkan menang dari kecanggihan militer Israel hanya dengan roket dan batu. Kenapa Palestina tetap melawan? Apakah ‘terorisme’ dari anak-anak intifadah dan letusan sesekali dari bom dan roket Palestina ke pemukiman Israel adalah sebuah kebodohan, provokasi, dan bunuh diri di hadapan Israel? Lantas satu pertanyaan kerap terlupa dari rangkaian narasi sejarah panjang yang non linear; bagaimana dengan represi, genosida, dan diskriminasi rasial terhadap rakyat Palestina yang telah berlangsung sistematik dan massif sejak berdirinya Israel tahun 1948?
Kutipan dari Bumi Manusia itu juga mengingatkan saya pada alasan kenapa Edward Said, dalam sebuah memoarnya, berkisah tentang momen intifadah personalnya. Saat berkunjung ke tanah kelahirannya, Palestina, beserta keluarganya, ia melempar batu ke arah pagar pembatas yang didirikan Israel. Sebuah aksi simbolik dari apa yang selama hidupnya ia perjuangkan habis-habisan; kebebasan Palestina.
Sebagai tempat suci bagi ketiga agama samawi – Yahudi, Kristen, dan Islam – konflik dan pertumpahan darah di Palestina tak terelakkan kerap menggunakan legitimasi agama sebagai identitas kolektif yang sifatnya primordial. Ini menjadi bahan bakar para pihak yang bertikai untuk bertahan sekaligus memiliki konsekuensi yang tak terhindarkan, stigma ekstrimis dan terorisme agama menyelubungi persoalan kemanusiaan mendasar. Tentu, aksi membunuh warga sipil Israel yang dilakukan milisi Palestina tetap tidak bisa dibenarkan. Namun, tidak ada skala masif yang bisa ditandingi dari serangkaian pembantaian massal militer Israel terhadap warga sipil Palestina, sejak berdirinya negara Israel dan hingga kini di Gaza. Secara hukum internasional, Israel telah melakukan genosida karena telah memenuhi unsur kejahatan terhadap kemanusiaan yang sistematik, meluas, dan dengan intensi jelas untuk menghapus target populasi yang spesifik dalam satu wilayah, termasuk menyerang rumah sakit dan sekolah. Istilah genosida tersebut bahkan pernah diberikan oleh PBB, saat Israel mengepung kamp pengungsi Palestina di Lebanon tahun 1982, sebagai apa yang dikenal dengan pembantaian Sabra-Shatila. Saat itu, Israel menggunakan milisi Lebanon untuk merangsek masuk ke pemukiman warga sipil Palestina tak bersenjata dan dengan tanpa ampun membunuhi mereka dengan alat-alat tajam tanpa terkecuali – orang tua, perempuan hamil, anak-anak – dalam pengawasan dan sokongan militer Israel.
Dalam narasi hegemoni penindas, sejak 1948 hingga tragedi Gaza yang masih berlangsung saat ini, Palestina selalu menjadi pihak yang disalahkan, atau setidaknya begitulah opini publik yang kerap dibentuk oleh para politisi dan media-media arus utama, terutama di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Eropa. Mereka salah karena mereka lemah, kecil, dan tak berdaya, namun ‘berani-berani’nya melawan. Beraninya mereka menjadi putus asa sehingga melakukan bom bunuh diri. Beraninya mereka melawan tank hanya dengan batu. Beraninya mereka mengirim roket ke warga sipil Israel yang tak berdosa. Maka rasakan akibatnya, militer Israel merangsek tanpa ampun. Logika penindas ini kerap diamini oleh publik karena mempertahankan ilusi penguasa lebih mudah ketimbang harus membongkar ulang realita yang menyesakkan dada. Cara berpikir menyalahkan korban – kadang pun korban dianggap pelaku, provokator, atau kaum yang layak ditindas – sebenarnya tak asing lagi dalam masyarakat yang terfragmentasi oleh kerangka hegemoni yang dikonstruksi maupun dibatasi oleh media yang parsial, kultur patriarki, konsumerisme dan kapitalisme, serta kebijakan politik.

gaza2Photo by Presstv.ir

Logika penindas semacam ini selalu menempatkan pihak yang tertindas sebagai Yang Liyan dan karenanya seperangkat stigma pun dibebankan kepadanya. Salah satu contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari adalah betapa mudahnya kita menyalahkan perempuan ketika ada kasus perkosaan. Meski terkesan perbandingan yang sekonyong-konyong, namun relevan untuk direfleksikan: apa bedanya menyalahkan seorang Rachel Corrie – warga Amerika Serikat yang tewas tahun 2003 akibat dirangsek oleh buldozer Israel karena mempertahankan rumah penduduk Palestina – dengan misalnya, menyalahkan seorang perempuan yang diperkosa karena pulang malam dengan mengenakan rok di atas lutut?
Bagi Rachel Corrie, caranya berdiri di depan rumah yang hendak diluluhlantakkan Israel sama provokatifnya dengan perempuan yang pulang malam dengan rok pendek. Dalam relasi timpang itu, ada harapan yang mundur ke masa lalu; korban disesalkan karena seharusnya lebih mampu mempertahankan atau menjaga diri. Pertanyaan serupa juga ditanyakan kepada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT): jika sudah tahu suaminya suka memukul, kenapa harus membuat suami marah?
Buldozer Israel, pelaku pemerkosa dan KDRT sama-sama memiliki impunitas dari kejahatan yang dilakukannya, karena keduanya adalah simbol kekuasaan dan kekuatan. Perang adalah maskulin. Penetrasi paksa adalah alat penaklukkan. Logika penindas semacam ini telah menjadi paradigma kehidupan sehari-hari tentang bagaimana publik memaknai relasi ketidakadilan dalam konteks memaklumi impunitas. Wajah ketidakadilan global pun diperhalus melalui konsumerisme dalam rantai kapitalisme. Kita perlahan kehilangan keterhubungan dan solidaritas bersama karena kita membeli produk tanpa kita ketahui asal muasalnya, yang mungkin hasil dari buruh miskin di Bangladesh atau hasil keuntungan perusahaannya digunakan untuk mendukung rezim apartheid seperti yang pernah terjadi di Afrika Selatan dan kini di Israel.
Oleh karena itu, simbol resistensi menjadi tak terelakkan. Dia tak dicipta semata oleh intensi heroisme, melainkan altruisme insidental. Itulah yang dilakukan Rachel Corrie saat ia memutuskan untuk berdiri menghadap buldozer Israel. Ia tak punya kekuatan magis dan politik untuk menghentikan raksasa itu, dan ia tahu nyawanya tak berarti dihadapan Israel, tapi ia tetap berdiri di hadapannya. Menjemput maut, tapi ia meyakini simbolitas perjuangannya memuat pesan mendalam yang takkan hilang saat rumah-rumah yang ia bela dihancurkan. Ia tetap berdiri di tengah narasi kuasa. Logika penindas menjadi dominan karena antagonisme tak hendak muncul. Relasi yang ada dianggap sesuatu yang sudah final dan objektif. Seperti halnya krisis Gaza, lebih mudah menyalahkan pihak yang sudah divonis kalah ketimbang membongkar praktik ketidakadilan di balik tuntutan untuk selalu melihat dengan objektif dan berimbang – meski jendela objektivitas tersebut telah dibentuk menjadi tidak proporsional dan ahistoris.
Pada tahun 2010, Israel secara ilegal menyerang sekelompok kapal di bawah nama ‘Freedom Flotilla’. Kapal-kapal tersebut mengangkut aktivis perdamaian dan kemanusiaan dari berbagai belahan dunia di laut Mediterania yang masih berstatus perairan internasional. Sekelompok kapal tersebut hendak menerobos blokade Israel terhadap Gaza, untuk menunjukkan protes damai mereka dan seruan agar mengakhiri krisis di Gaza. Tokoh dunia seperti Desmond Tutu dan Noam Chomsky, turut memberi dukungan terhadap Freedom Flotilla. Namun, aksi tersebut dibalas Israel dengan serbuan militer, penangkapan para aktivis dan ekstradisi. ‘Kekalahan’ mereka, jika ingin dianggap begitu, diklaim Israel sebagai kesalahan karena mengancam kedaulatan negara mereka oleh ‘potensi terorisme’ – meski jelas tidak ada alat tajam dan senjata yang dibawa oleh para aktivis Freedom Flotilla. Insiden tersebut, meski secara riil gagal menembus blokade atas Gaza, merupakan sinyalemen kebangkitan suara global yang lebih terbuka dan kritis terhadap kolonialisme Israel di Palestina.
Pada titik simbolitas itulah, meski coba dihabisi mati-matian oleh Israel dengan segenap gegap gempita teknologi militernya, rakyat Palestina dan warga dunia lainnya yang berdiri atas nama kemanusiaan terus mereproduksi hegemoni, yaitu apa yang dimaknai Laclau dan Mouffe sebagai cara membuat elemen partikular mampu mengonstruksi tuntutan menjadi universal. Dengan adanya media sosial, aksi global, serta liputan jurnalistik yang menyuarakan persoalan kemanusiaan di Palestina, muncul publik yang secara radikal berdaya untuk mengkontestasi segala bentuk kekuasaan terpusat. Narasi dominan bahwa konflik di Palestina adalah upaya membela diri Israel dari serangan teroris dan ancaman demografis etnis Arab di Palestina, kini ditantang secara terbuka oleh narasi yang lebih plural, emansipatoris tapi juga radikal; ini juga soal rasisme, impunitas terorisme negara di muka para organisasi internasional yang paham hukum internasional, kolonialisme modern, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Upaya membangun hegemoni ini sebagai bentuk masyarakat sipil membangun kekuatan politiknya melawan rezim penindas mungkin belum memiliki dampak transformatif atau ekspansif, tetapi perlahan membongkar ilusi dari batasan objektivitas dan struktur yang dianggap final.
Publik dunia dihadapkan pada realitas bahwa formasi identitas dan subjektivitas politik bukanlah tunggal. Palestina bukan representasi semata Arab, Islam, dan teroris. Israel bukan representasi semata korban Holocaust dan Yahudi. Di dalam tarung diskursus itupun bermunculan realitas jamak yang selalu bergerumul mencari posisinya dalam kuasa dan praktek-praktek demokrasi global. Mereka adalah para syekh, pendeta, dan rabbi yang bersitatap di lorong-lorong Yerusalem tanpa permusuhan. Mereka adalah para budayawan, seniman, dan intelektual yang sama-sama lahir di tanah Palestina, meski secara warga negara mereka dipisahkan oleh status Israel atau Palestina, lahir dari darah Eropa, Arab, atau Afrika. Mereka adalah para penutur yang tak kenal lelah bersuara untuk perdamaian. Dinamika ini menunjukkan bahwa identitas, seperti halnya klaim kebenaran, tidaklah hitam putih dan tunggal. Membuka tafsiran pada keberagaman juga memberi ruang yang lebih kritis dan adil terhadap suara-suara yang tertindas di balik narasi dan represi Israel.
Begitu pula dengan Edward Said, saat ia melempar batu ke pagar pembatas. Ia tahu batu itu takkan ke mana, tapi ia mencipta sebuah simbol untuk dirinya sendiri. Di dunia yang diselimuti impunitas, simbol adalah pencuri perhatian yang menggelisahkan dan hendak mengetuk nurani bersama, meski seseorang harus mati tanpa pernah berhasil mencapai keadilan. Dalam gempuran tanpa ampun di Gaza, matinya ratusan anak-anak dan perempuan dengan tubuh remuk dan terburai bukanlah soal menjadi salah atau benar. Seperti kata pepatah, bersikap netral saat terjadi ketidakadilan berarti mendukung ketidakadilan. Mereka tak salah lahir di Gaza, melainkan seperti kata Jean Marais dalam ‘Bumi Manusia’, ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga dari pada hanya mati, hidup, atau kalah-menang – yaitu menjadi manusia, tak lebih rendah dan tak lebih tinggi dari itu.***


 SUMBER :http://indoprogress.com/2014/08/mereka-yang-selalu-salah-gaza-dan-logika-penindas/



Tidak ada komentar: